MAKALAH SOSIOLOGI AGAMA



MAKALAH SOSIOLOGI AGAMA

PENGERTIAN SOSIOLOGI AGAMA

1.      Pengertian Sosiologi
a.       Pengertian Sosiologi Secara Etimologi
Manusia selalu mengadakan hubungan ke mana pun dan di mana pun secara berulang, baik secara langsung maupun tidak langsung. Agar hubungan itu berjalan dengan baik, maka dalam berperilaku manusia senantiasa berpedoman pada nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Nilai dan norma yang dimiliki setiap masyarakat tidak sama. Dengan menyadari persamaan dan perbedaannya, serta keikutsertaan kita dalam hubungan sosial memberikan gambaran kepadamu tentang ilmu yang akan kita pelajari, yaitu sosiologi. [1]
Sebagai ilmu ia baru mulai dikenal pada abad ke-19 dengan nama yang berasal dari August Comte (1798-1857) untuk menunjukkan sosiologi sebagai ilmu masyarakat yang memilki disiplin yaitu rencana pelajaran dan penyelidikan serta lapangannya sendiri.  Sosiologi (Latin: socius= teman, kawan, sosial= berteman, bersama, berserikat) bermaksud untuk mengerti kejadian-kejadian dalam masyarakat yaitu persekutuan manusia, dan selanjutnya dengan pengertian itu untuk dapat berusaha mendatangkan perbaikan dalam kehidupan bersama.

b.      Pengertian Sosiologi Secara Terminologi
Dalam arti terminologi, sosiologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari interaksi manusia di dalam masyarakat. Sosiologi bermaksud untuk mengkaji kejadiankejadian dalam masyarakat, yaitu persekutuan manusia yang selanjutnya berusaha untuk mendatangkan perbaikan dalam kehidupan bersama. [2]
Berikut ini pengertian sosiologi menurut pendapat para ahli dari sudut pandang masing-masing.
1.      Auguste Comte
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari manusia sebagai makhluk yang mempunyai naluri untuk senantiasa hidup bersama dengan sesamanya.[3]
2.      Emile Durkheim
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari fakta sosial. Fakta sosial merupakan cara bertindak, berpikir, dan berperasaan yang berada di luar individu, serta mempunyai kekuatan memaksa dan mengendalikan.[4]
3.      Max Weber
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tindakan sosial. Tindakan sosial adalah tindakan yang dilakukan dengan mempertimbangkan dan berorientasi pada perilaku orang lain.[5]
4.      P.J. Bouman
Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari hubungan-hubungan sosial antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, serta sifat dan perubahanperubahan dalam lembaga-lembaga dan ide-ide sosial.[6]
5.      Pitirim A. Sorokin
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari mengenai: a. Hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala sosial, misalnya antara gejala ekonomi dan agama, keluarga dan moral, hukum dan ekonomi, gerak masyarakat dan politik, dan sebagainya. b. Hubungan dan saling pengaruh antara gejala-gejala sosial dan gejala-gejala nonsosial, misalnya gejala geografis, biologis, dan sebagainya. c. Ciri-ciri umum semua jenis gejala sosial.[7]
6.      Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi
Sosiologi atau ilmu masyarakat adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial.[8]
7.      Kingsley Davis
Sosiologi adalah suatu studi yang mengkaji bagaimana masyarakat mencapai kesatuannya, kelangsungannya, dan caracara masyarakat itu berubah.[9]

Sejak masanya Aristoteles sebenarnya masyarakat telah menjadi objek perhatian bagi kalangan pemikir, hanya saja pada waktu itu nama sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang sejati belum terbentuk. Untuk mendefinisikan sosiologi pada waktu itu dapat dikatakan belum ada kesempatan, lantaran banyaknya pendapat yang hanya didasarkan pada sebagian besar pengalaman dan pengamatan terhadap pergaulan hidup semata dan belum dilakukan kajian ilmiah secara kausalitas.[10]
Persoalan masyarakat banyak disinggung tatkala para pemikir pada waktu itu sedang mengamati soal politik merupakan awal pertumbuhan dari dari sosiologi. Teori-teori kemasyarakatan banyak diajukan oleh para ahli politik dalam rangka usaha mempertegas dan membentuk definisi sosiologi. Pemikiran diatas usaha itu banyak diawali dengan menerangkan soal hubungan antar manusia, hak dan kewajiban manusia, disamping banyak pula menyebutkan ketimpangan hubungan antara penguasa dan yang dikuasai.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempunyai obyek studi masyarakat. Namun demikian sampai sekarang definisi sosiologi masih agak sukar untuk memberikan suatu batasan yang pasti tentang definisi sosiologi lantaran terlalu banyak cangkupan kajiannya, sehingga kalaupun diberikan suatu definisi masih ada juga yang tidak memenuhi unsure-unsurnya secra menyeluruh. Tidak sedikit para ahli menganggap bahwa definisi hanya dipakai sebagai petunjuk dan pegangan sementara saja.
Sebagai pegangan sementara dapat dilihat beberapa pendapat sarjana yang telah mencoba untuk memberikan definisi sosiologi sebagai berikut:[11]
a.       Petrim A. Sorokin mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari:1. Hubungan dan pengaruh timbale balik antara aneka macam gejala2 sosial. 2. Hubungan dan pengaruh antara gejala social dengan gejala non social.
b.      Roucek and Warren mengemukakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dengan kelompok-kelompok.
c.       J.A.A.Van Doorn en C.J.Lammers mengemukakan bahwa sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang struktur-struktur dan proses-proses kemasyarakatan yang bersifat stabil.
Maka menurut sifat hakikatnya, dapat ditetapkan bahwa sosiologi adalah ilmu pengetahuan ilmiah yang telah berdiri sendiri dan mempunyai objek studi tersendiri pula.  
Sosiologi juga dapat diartikan sebagai ilmu tentang perilaku social ditinjau dari kecenderungan individu dengan individu lain, dengan memperhatikan symbol-simbol interaksi.
Sedangkan pengertian sosiologi sebagaimana yang dijelaskan oleh Selo Sumardjandan Soelaeman Soemardi adalah ilmu kemasyarakatan yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial termasuk perubahan sosial.[12]

2.    Pengertian Agama
Agama dalam bahasa Indonesia, berasal dari bahasa Sansekerta yaitu “a” yang berarti “tidak” dan “gama” yang berarti “kacau”. Jadi “agama” berarti “tidak kacau”, dengan pengertian terdapat ketenteraman dalam berfikir sesuai dengan pengetahuan dan kepercayaan yang mendasari kelakuan “tidak kacau” itu. Atau berarti sesuatu yang mengatur manusia agar tidak kacau dalam kehidupannya. Pengetahuan dan kepercayaan tersebut menyangkut hal-hal keilahian dan kekudusan. Secara etimologis, kata “agama” konotasinya lebih dekat kepada agama Hindu dan Budha. Akan tetapi, setelah digunakan dalam bahasa Indonesia, pengertiannya mencakup semua agama. Dalam bahasa Inggris disebut religion atau religi. Berasal dari bahasa Latin religio atau relegere yang berarti ”mengumpulkan” atau “membaca”. Dalam kamus Barat, religion hanya menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan dan tidak berhubungan dengan seluruh aspek kehidupan manusia. Inilah yang melahirkan negara sekuler, berbeda dengan agama dalam ajaran Islam.[13]
Dalam bahasa Arab, agama dikenal dengan kata ad-din dan al-millah. Kata ad-din sendiri mengandung berbagai arti. Ia dapat diartikan al-mulk (kerajaan), al-khidmat (pelayanan), al-‘adat (kebiasaan), al-ibadah (pengabdian), al-tadzallul wa al-khudhu’ (tunduk dan patuh), al-tha’at (taat), al-islam at-tauhid (penyerahan dan mengesakan Tuhan). Sedangkan pengertian din yang berarti agama adalah nama yang bersifat umum. Artinya, tidak ditujukan pada salah satu agama; ia adalah nama untuk setiap kepercayaan yang ada di dunia ini.[14]Sebaliknya orang yang menyakini adanya Sang Pencipta alam semesta disebut sebagai orang yang beragama. Sekalipun keyakinannya atas ritual- ritual agamanya mengalami penyimpangan dan khurafat. Maka dari itu, agama terbagi menjadi dua, yaitu hak dan batil.
Din juga dapat didefinisikan sebagai peraturan Allah yang membawa orang- orang berakal kearah kebahagiaan dunia dan akhirat, yang mencakup masalah aqidah dan amal. Ia adalah suatu sistem yang mencakup peraturan-peraturan yang menyeluruh, serta merupakan “undang- undang” yang lengkap dalam semua urusan hidup manusia untuk kita terima dan mengamalkannya secara total.
Agama adalah tata- tertib yang mengatur hubungan antara makhluk dengan Kahlik-Nya. Ia mengandung petunjuk- petunjuk hidup manusia duniawi dan ukhrawi. Sebagian orang memberi penilaian benar atau tidaknya sebuah agama, sangat tergantung pada kehadiran Kitab Sucinya, kenabian, kelengkapan Syari`at, serta ketaatan penganutnya terhadap Khalik yang dianutnya. Agama adalah hak asasi yang paling mendasar dan manusia bebas memilih. Firman Allah swt dalam QS. Al-Baqarah: 256.
 Iw on#tø.Î) Îû ÈûïÏe$!$# ( 0s% tû¨üt6¨? ß0ô© 9$# z`ÏB ÄcÓxöø9$# 4 `yJsù öàÿõ3t ÏNqäó»©Ü9$$Î/ -ÆÏB÷sãur «!$$Î/ Ï0s)sù y7|¡ôJtGó$# Íouróãèø9$$Î/ 4 s+øOâqø9$# w tP$|ÁÏÿR$# $olm; 3 ª!$#ur ìì9Ïÿx îLìÎ=tæ ÇËÎÏÈ
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.
Agama, secara mendasar dan umum, dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib (khususnya dengan Tuhannya), mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Dalam definisi tersebut, agama dilihat sebagai teks atau doktrin, sehingga keterlibatan manusia sebagai pendukung atau penganut agama tersebut tidak tampak tercakup di dalamnya (Robertson,1994).
Secara lebih khusus, agama dapat didefinisikan sebagai suatu system keyakinan yang dianut dan tindakan- tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau mayarakat dalam menginterpretasi dan memberi respons terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai gaib dan suci. Sebagai suatu system keyakinan, agama berbeda dari system- system keyakinan atau isme- isme lainnya, karena landasan keyakinan keagamaan adalah pada konsep suci (sacred) yang dibedakan dari, atau dipertentangkan dengan, yang duniawi (profance), dan pada yang gaib atau supranatural (supernatural) yang menjadi lawan dari hukum- hukum alamiah (natural).
Adapun definisi-definisi agama antara lain sebagai berikut:
Agama adalah suatu sistem kepercayaan yang disatukan oleh praktik yang bertalian dengan hal-hal yang suci, yakni hal-hal yang dibolehkan dan dilarang – kepercayaan dan praktik-praktik yang mempersatukan suatu komunitas moral, mereka terpaut satu sama lain (Durkheim, 1965). Saya merumuskan agama sebagai seperangkat bentuk dan tindakan simbolik yang menghubungkan manusia dengan kondisi akhir eksistensinya (Bellah, 1964). Jadi, agama dapat dirumuskan sebagai suatu sistem kepercayaan dan praktik dimana suatu kelompok manusia berjuang menghadapi masalah-masalah akhir kehidupan manusia (Yinger, 1970).[15]
Definisi pertama yang dikemukakan di atas sangat terkenal dan telah dikutip berulang kali oleh banyak sosiolog. Bagi Durkheim, karakteristik agama yang penting ialah bahwa agama itu diorientasikan kepada sesuatu yang dirumuskan oleh manusia sebagai suci/sakti.
Agama dalam pengertian sosiologi adalah gejala social yang umum dan dimiliki oleh seluruh masyarakat yang ada di dunia ini, tanpa terkecuali. Ini merupakan salah satu aspek dalam kehidupan sosial dan bagian dari system sosial suatu masyarakat. Agama juga bisa dilihat sebagai unsur dari kebudayaan suatu masyarakat disamping unsure-unsur yang lain, seperti kesenian, bahasa, sistem mata pencaharian, dan sistem-sistem organisasi sosial.[16]
Para ahli agama sulit menyepakati apa yang menjadi unsur esensial agama. Namun, hampir semua agama diketahui mengandung empat unsur penting, yaitu (a) pengakuan bahwa ada kekuatan ghaib yang menguasai atau mempengaruhi kehidupan manusia, (b) keyakinan bahwa keselamatan hidup manusia tergantung pada adanya hubungan baik antara manusia dengan kekuatan ghaib itu, (c) sikap emosional pada hati manusia terhadap kekuatan ghaib itu, seperti sikap takut, hormat, cinta, penuh harap, pasrah dan lain-lain dan (d) tingkah laku tertentu yang dapat diamati, seperti shalat, do’a, puasa, suka menolong, dan lain sebagai buah dari tiga unsur pertama.[17]
Secara teologis, ulama Islam membagi agama-agama yang ada di dunia ini menjadi dua kelompok. Pertama adalah agama wahyu, yakni agama yang diwahyukan Tuhan kepada Rasul-Nya, seperti kepada Nabi Ibrahim, Nabi Muha, Nabi Daud, Nabi Isa dan terakhir kepada Nabi Muhammad saw. Keyakinan sentral dalam agama wahyu, yang diajarkan para Rasul Tuhan itu, tidak lain melainkan untuk mengesakan Allah, yakni mengakui tidak ada Tuhan selain Allah, dan hanya kepada-Nya saja ‘ubudiyyah serta ketaatan ditujukan secara langsung.[18]
            Dilihat dari sudut kategori pemahaman manusia, agama memiliki dua segi yang membedakan dalam perwujudannya, yaitu sebagai berikut:
  1. Segi kejiwaan, yaitu suatu kondisi subjektif atau kondisi dalam jiwa manusia, berkenaan dengan apa yang dirasakan oleh penganut agama. Kondisi inilah yang biasa disebut kondisi agama, yaitu kondisi patuh dan taat pada yang disembah.
  2. Segi objektif, yaitu segi luar yang disebut juga kejadian objektif, dimensi empiris dari agama. Keadaan ini muncul ketika agama dinyatakan oleh penganutnya dalam berbagai ekspresi, baik ekspresi teologis, ritual maupun persekutuan.
Dari segi kedua ini mencakup adat-istiadat, kepercayaan yang dianut oleh suatu masyarakat. [19]

3.      Pengertian Sosiologi Agama menurut Para Pakar
Jika berbicara mengenai definisi sosiologi agama, maka ada beberapa hal lain yang tidak lupa kami singgung dalam pembahasan ini, di antaranya adalah mengenai pengertian sosiologi, agama,. Sosiologi secara umum adalah ilmu pengetauan yang mempelajari masyarakat secara empiris untuk mencapai hokum kemasyarakatan yang seumum-umumnya.
Sosiologi juga dapat diartikan sebagai ilmu tentang perilaku social ditinjau dari kecenderungan individu dengan individu lain, dengan memperhatikan symbol-simbol interaksi. Agama dalam arti sempit ialah seperangkat kepercayaan, dogma, pereturan etika, praktek penyembahan, amal ibadah, terhadap tuhan atau dewa-dewa tertentu. Dalam arti luas, agama adalah suatu kepercayaan atau seperangkat nilai yang minmbulkan ketaatan pada seseorang atau kelompok tertentu kepada sesuatu yang mereka kagumi, cita-citakan dan hargai.
Adapun kalau kedua istilah “sosiologi” dan “agama” digabungkan maka memiliki beberapa definisi berikut:
- Sosiologi agama adalah ilmu yang membahas tentang hubungan antara berbagai kesatuan masyarakat atau perbedaan masyarakat secara utuh dengan berbagai sistem agama, tingkat dan jenis spesialisasi berbagai peranan agama dalam berbagai masyarakat dan sistem keagamaan yang berbeda.[20]
- Sosiologi agama adalah studi tentang fenomena sosial, dan memandang agama sebagai fenomena sosial. Sosiologi agama selalu berusaha untuk menemukan pinsip-prinsip umum mengenai hubungan agama dengan masyarakat.[21]
- Sosiologi agama adalah suatu cabang sosiologi umum yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti, demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.
Sosiologi agama menjadi disiplin ilmu tersendiri sejak munculnya karya Weber dan Durkheim. Jika tugas dari sosiologi umum adalah untuk mencapai hukum kemasyarakatan yang seluas-luasnya, maka tugas dari sosiologi agama adalah untuk mencapai keterangan-keterangan ilmiah tentang masyarakat agama khususnya. Masyarakat agama tidak lain ialah suatu persekutuan hidup (baik dalam lingkup sempit maupun luas) yang unsure konstitutif utamanya adalah agama atau nilai-nilai keagamaan.
Jika teologi mempelajari agama dan masyarakat agama dari segi “supra-natural”, maka sosiologi agama mempelajarinya dari sudut empiris sosiologis. Dengan kata lain, yang akan dicari dalam fenomena agama itu adalah dimensi sosiologisnya. Sampai seberapa jauh agama dan nilai keagamaan memainkan peranan dan berpengaruh atas eksistensi dan operasi masyarakat. Lebih konkrit lagi, misalnya, seberapa jauh unsur kepercayaan mempengaruhi pembentukan kepribadian pemeluk-pemeluknya; ikut mengambil bagian dalam menciptakan jenis-jenis kebudayaan; mewarnai dasar-dasar haluan Negara; memainkan peranan dalam munculnya strata (lapisan) sosial; seberapa jauh agama ikut mempengaruhi proses sosial, perubahan sosial, fanatisme dan lain sebagainya.[22]
Menurut Keith A. Roberts, sasaran (objek) kajian sosiologi agama adalah memfokuskan kajian pada:
1). Kelompok-kelompok dan lembaga keagamaan, yang meliputi pembentukannya, kegiatan demi kelangsungan hidupnya, pemeliharaannya dan pembaharuannya.
2). Perilaku individu dalam kelompok-kelompok tersebut atau proses sosial yang mempengaruhi status keagamaan dan perilaku ritual.
3). Konflik antar kelompok, misalnya Katolik lawan Protestan, Kristen dengan Islam dan sebagainya.
Bagi sosiologi, kepercayaan hanyalah salah satu bagian kecil dari aspek agama yang menjadi perhatiannya. Bila dikatakan bahwa yang menjadi sasaran sosiologi agama adalah masyarakat agama, sesungguhnya yang dimaksud bukanlah agama sebagai suatu sistem (dogma dan moral), tetapi agama sebagai fenomena sosial, sebagai fakta sosial yang dapat dilaksanakan dan dialami oleh banyak orang.
Menurut pandangan sosiologi, agama yang terwujud dalam kehidupan masyarakat adalah fakta social. Sebagaimana suatu fakta social, agama dipelajari oleh sosiolog dengan menggunakan pendekatan ilmiah. Disiplin ilmu yang dipergunakan oleh sosiolog dalam mempelajari masyarakat beragama itu disebut sosiologi agama. Sosiologi agama adalah suatu cabang ilmu yang otonomi muncul setelah akhir abad ke-19. Pada prinsipnya, ilmu ini sama dengan sosiologi umum, yang membedakannya adalah objek materinya.[23]
Seorang ahli sosiologi agama Indonesia Hendropuspito mengatakan bahwa sosiologi agama ialah suatu cabang dari sosiologi umum yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah yang pasti demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya. Dari definisi sosiologi agama diatas dapat disimpulkan bahwa sosiologi agama sama dengan sosiologi pada umumnya yaitu sama-sama mempelajari masyarakat agama dengan pendekatan ilmu social bukan teologis. Tetapi tidak semua pernyataan dalam definisi tersebut dapat kita setujui, terutama dalam pernyataan bahwa sosiologi agama untuk kepentingan masyarakat agama  atau masyarakat umumnya.
Dalam berbagai literatur defisi diatas atau definisi sosiologi agama hamper tidak ada perbedaan yang sangat berarti. Namun demikian dikemukakan berbagai pengertian sosiologi agama menurut beberapa ahli sosiologi.J.Wach merumuskan sosiologi agama secara luas sebagai suatu study tentang interelasi dari agama dan masyarakat serta bentuk-bentuk interaksi yang terjadi antar mereka. Sedangkan menurut H.Goddijn-W.Goddijn, sosiologi agama ialah bagian dari sosiologi umum yang mempelajari suatu ilmu budaya empiris, profane, dan positif yang menuju kepada pengetahuan umum, yang jernih dan pasti dari struktur , fungsi-fungsi dan perubahan-perubahan kelompok keagamaan dan gejala-gejala kekelompokan keagamaan.[24]
Dari definisi-definisi tersebut diatas kiranya sudah cukup jelas memberikan gambaran kepada kita bahwa sosiologi agama pada hakikatnya adalah cabang dari sosiologi umum yang mempelajari masyarakat agama (religious society) secara sosiologis untuk mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti demi untuk masyarakat agama itu sendiri dan umat atau masyarakat pada umumnya.
Sosiologi agama memusatkan perhatiannya terutama untuk memahami makna yang diberikan oleh suatu masyarakat kepada sistem agamanya sendiri, dan berbagai hubungan antar agama dengan struktur sosial lainnya, juga dengan berbagai aspek budaya yang bukan agama. Para ahli memandang bahwa agama adalah suatu pengertian yang luas dan universal, dari sudut pandang sosial dan bukan dari sudut pandang individu.

KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
  1. Sosiologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari interaksi manusia di dalam masyarakat. Sosiologi bermaksud untuk mengkaji kejadian-kejadian dalam masyarakat, yaitu persekutuan manusia yang selanjutnya berusaha untuk mendatangkan perbaikan dalam kehidupan bersama.
  2. Agama, secara mendasar dan umum, dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib (khususnya dengan Tuhannya), mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya.
  3. Sosiologi agama pada hakikatnya adalah cabang dari sosiologi umum yang mempelajari masyarakat agama (religious society) secara sosiologis untuk mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti demi untuk masyarakat agama itu sendiri dan umat atau masyarakat pada umumnya.


DAFTAR RUJUKAN
Kahmad, Dadang, 2000. Sosiologi Agama. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Ishomuddin, 2002. Pengantar Sosiologi Agama, Jakarta:  PT. Ghalia Indonesia-UMM Press.
Abdulsyani. 2002. Sosiologi Skematika, Teori, Dan Terapan. Jakarta:PT.Bumi Aksara.
Budi Purnama, Pengertian Sosiologi Agama menurut Para Ahli (http://www.google.com, diakses 18 september 2011).
Fahdamjad, Agama menurut Qur’an (http://www.google.com, diakses 18 September 2011).
Rofiah, Pengertian, Tempat, Fungsi dan Aliran-aliran serta Metode Penelitian dalam Sosiologi Agama (http:www.google.com, diakses 18 September 2011).


SOSIOLOGI AGAMA

PEMBAHASAN
A. Pengertian Sosiologi Agama
Menurut Dr. H. Goddijn/ Dr. W. Goddijn, sosiologi agama ialah bagian dari sosiologi umum (versi barat) yang mempelajari suatu ilmu budaya empiris, profan, dan positif yang menuju kepada pengetahuan umum, yang jernih dan pasti dari struktur, fungsi-fungsi dan perubahan kelompok keagamaan dan gejala-gejala kekelompokan keagamaaan.[1]
Secara singkat, sosiologi agama ialah suatu cabang sosiologi umum yng mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.
Segi-segi penting yang hendak ditonjolkan dalam definisi itu antara lain :
1) Sosiologi agama adalah cabang dari sosiologi umum
2) Bahwa sosiologi agama adalah sungguh ilmu sebagaimana sosiologi umum adalah benar-benar suatu ilmu.
Ø Sasaran langsung
Sosiologi agama menangani masyarakat agama sebagai sasarannya yang langsung. Seperti masyarakat nonagama umumnya demikian pula masyarakat agama terdiri dari komponen-komponen konstitutif seperti misalnya kelompok-kelompok keagamaan, institusi-institusi religius yang mempunyai ciri pola tingkah laku tersendiri baik ke dalam maupun ke luar menurut norma-norma dan peraturan-peraturan yang ditentukan oleh agama. Masyarakat agama yang demikian itu akan disoroti secara berturut-turut; strukturnya dan fungsinya; pegaruhnya terhadap mayarakat luas umumnya, dan atas stratifikasi sosial khususnya, teristimewa mengingat adanya kesadaran dan kohesi kelompok religius yang mempunyai sifat tersendiri. Sudah tentu tidak akan dilupakan untuk mengakaji perubahan-perubahan yang disebabkan oleh agama baik yang positif maupun yang negatif , seperti kerukunan antar golongan agama dan konflik-konflik yang sering terjadi. Demikian pula fenomena jenuhnya organisasi lembaga-lembaga keagamaan yang tidak selalu membawa berkat, bahkan sering menghambat laju modernisasi para penganutnya.
Bila dikatakan bahwa yang menjadi sasaran adalah masyarakat agama, sesungguhnya yang dimaksud bukanlah agama sebagai suatu sistem ajaran (dogma) dan moral) itu sendiri, tetapi agama sejauh ia sudah mengejawentah dalam bentuk-bentuk kemasyarakatan yang nyata, atau dengan kata lain agama sebagai fenomena sosial, sebagai fakta sosial yang dapat disaksikan dan dialami banyak orang.
Ø Sudut Pendekatan (obyek formal)
Kalau ilmu ketuhanan (teologi) mempelajari agama dan masyarakat agama dari kaca mata “supra-empiris” (baca : menurut kehendak Tuhan) maka sosiologi agama mempelajarinya dari sudut empiris-sosiologis. Dengan kata lain, yang hendak dicari dalam fenomena agama itu adalah dimensi sosiologisnya. Sampai berapa jauh agama dan nilai-nilai keagamaan memainkan peranan dan berpengaruh atas eksistensi dan operasi masyarakat manusia. Lebih konkret, misalnya, seberapa jauh unsur kepercayaan mempengaruhi pembentukan kepribadian pemeluk-pemeluknya; ikut mengambil bagian dalam menciptakan jenis-jenis kebudayaan ; mewarnai dasar dan haluan Negara; mempengaruhi terbentuknya partai-partai politik dan golongan nonpolitik; memainkan peranan dalam munculnya lapisan sosial, dalam lahirnya organisasi-organisasi; seberapa jauh agama ikut mempengaruhi proses sosial, perubahan sosial, sekularisasi, fanatisme, bentrokan dll. Jadi, hal-hal yang disebut dalam contoh di atas yang berkaitan erat dengan masalah agama , sosiologi agama disoroti dari sudut sosiologis. Sosiologi agama melalui pengamatan dan penelitian mau mencari keterangan-keterangan ilmiah untuk dipergunakan sebagai sarana meningkatkan daya guna dan fungsi agama itu sendiri demi kepentingan masyarakat agama yang bersangkutan khususnya dan masyarakat luas umumnya.
B. Tempat dan Fungsi Sosiologi Aga
ü Fungsi Sosiologi Agama
Sosiologi agama bermaksud membantu para pemimpin agama dalam mengatasi masalah-masalah sosio-religius yang tidak kalah beratnya dengan masalah-masalah sosial nonkeagamaan. Dalam bidang teoritis dimana para ahli keagamaan memerlukan konsep-konsep dan resep-resep ilmiah praktis yang sulit diperoleh dari teologi, maka sosiologi agama dapat memberikan sumbangannya.
Masyarakat kita dewasa ini dihadapkan dengan masalah-masalah sosial yang tidak lepas dari kekuatan-kekuatan (sosial) yang bersumber dari dunia keagamaan. Dari masalah-masalah keterbelakangan pendidikan dan pengajaran, dari persoalan buta huruf sampai masalah kekurangan guru dan gedung sekolah, di samping masih terdapatnya sekolah-sekolah swasta yang tidak memenuhi persyaratan mutu nasional akibat dari dominasi kurikulum agama, yang umumnya mengikuti pola pendidikan tradisional (kolot) yang menutup mata anak didik dari pengetahuan nilai sekular, yang sudah menguasai masyarakat luas. Belum lagi problem besar kemiskinan baik apa yang disebut kemiskinan structural maupun nonstruktural yang apriori dapat dipastikan ada kaitannya dengan unsur “credo” keagamaan dan kepercayaan yang dianut oleh pemeluk-pemeluknya dan yang diterima dengan rela dan tidak rela sebagai suatu nasib yang dikehendaki Tuhan. Panorama permasalahan di muka masih dapat ditambah dengan masalah kesatuan dari sekian suku bangsa di tanah air, yang tidak dapat dipisahkan dari unsur-unsur keagamaan yang berbeda dan yang diyakini suku-suku sebagai pemeluknya yang berbeda-beda pula. Bahkan dewasa ini semakin disadari banyak cendekiawan yang yakin bahwa fenomena sosial yang disebut ras, agama, suku, merupakan problem nasional yang berat.
Disamping itu, masih dapat diketengahkan kesulitan-kesulitan yang bersumber pada masalah kultural. Adanya pola-pola kelakuan warisan angkatan sebelumnya yang masih dipertahankan berlakunya walaupun menurut akal sehat tida menguntungkan lagi bagi kelangsungan tata hidup masyarakat modern. Disini orang menghadapi bukan saja masalah etnis (suku dengan suku) melainkan masalah sosiologis-kultural. Bukan lagi komunikasi antara suku bangsa yang satu dengan yang lain, melainkan antara strata sosial yang satu dengan yang lain. Tegasnya hubungan antara bawahan dengan atasan atau sebaliknya, yang masih mempertahankan pola distansi vertikal tidak hanya dalam sopan santun sehari-hari, bahkan dalam urusan fungsional yang dengan sendirinya menuntut inisiatif dan tanggung jawab pribadi.
C. Lahir dan Berkembangnya Sosiologi Agama
Benih-benih minat kepada fenomena agama sudah mulai tumbuh ekitar pertengahan abad ke-19 oleh sejumlah sarjana Barat terkenal seperti Edward B. Taylor (1832-1917), Herbert Spencer (1820-1903), Freidrich H. Muller (1823-1917), Sir James G. Fraser (1854-1941). Tokoh-tokoh ini lebih tertarik kepada agama primitive. Namun pengkajian masalah agama secara ilmiah dan terbina baru muncul sekitar tahun 1900. Mulai saat itu hingga menjelang 1950 muncullah buku-buku sosiologi agama yang sering disebut dengan nama sosiologi agama klasik. Periode klasik ini terutama dikuasai oleh dua orang sosiolog yang terkenal yaitu Emile Durkheim dari Prancis (1858-1917) dan Max Webber dari Jerman (1864-1920). Dua sarjana tersebut lazim dipandang sebagai pendiri sosiologi agama.
Berdasarkan data-data etnologi yang diperoleh dari bangsa-bangsa di luar Eropa, Durkheim menulis buku yang menarik tentang bentuk-bentu elementer kehidupan religius.[2] Sedangkan Max Webber menerbitkan buku yag tidak kurang menariknya mengenai agama-agama di India dan China, karena di dalamnya disajikan gagasan-gagasan penting yang dapat dipakai sebagai landasan pengamatan dan analisis di kemudian hari.[3]
Sesudah Perang Dunia II tumbuh perkembangan baru. Dalam arus sosiologi klasik itu muncullah sutu minat yang kuat dari sebagian besar ahli sosiologi yang ditujukan kepada kehidupan agama di dalam gereja. Maka lahirlah sosiologi gereja. Tujuan penelitian para peminat semata-mata diarahkan dalam bidang kehidupan gereja dan hasilnya dimaksud untuk kepentingan gereja, khususnya dalam menentukan kebijaksanaan baru.
Namun sekitar tahun 1960-an terjadi perkembangan lain. Sosiologi gereja ternyata mengalami frustasi dan kemunduran, bahkan akhirnya berhenti untuk nantinya muncul kembali dalam bentuk baru. Menurut para peninjau yang kompeten memang terdapat alasan-alasan yang cukup kuat yang menyebabkan keberhentian itu, antara lain :
(a) Pimpinan gereja umumnya merasa tidak mendapatkan apa yang mereka harapakan semula. Hal ini membawa akibat yang tidak menguntungkan. Jelasnya, dukungan dari pihak pimpinan gereja berkurang. Lalu dapat dipahami pula bahwa semangat para pendukungnya menjadi patah.
(b) Sementara itu kalangan sosiolog (dari sosiologi umum) tidak tonggal diam. Mereka menilai dan mengeluarkan pendapat mereka bahwa cara kerja dan hasil kerja sosiolog gerejani kurang bermutu imiah. Mutunya paling tinggi hanya sejajar dengan karangan yang berbobot deskripsi dan sosiografi.
Sementara itu pengertian tentang sasaran dan lingkup sosiologi agama dipandang perlu untuk diperluas, dan jangan hanya dipersempit pada geraja saja. Sebab dalam pengertian agama termasuk juga pengertian iman atau kepercayaan. Gereja hanya merupakan salah satu bentuk kepercayaan tertentu. Maka disimpulkan bahwa mulai saat ini penelitian sosial keagamaan tidak boleh terbatas pada kehidupan gerejani saja, tetapi harus mencakup semua bentuk kepercaaan yang ada di luar gereja.
Berdasarkan pertimbangan di atas terjadiah perubahan dalam sikap sosiologi agama. Pertama, sosiologi agama menjauhkan diri dari gereja dan kembali pada pangkuan sosiologi umum. Kedua, sosiologi agama mengadakan langkah baru menuju tercapainya pengetahuan yang sungguh bersifat ilmu.
D. Jenis Sosiologi Agama
Sosiologi agama tidak merupakan satu kesatuan yang seragam. Dalam forum sosiologi agama sendiri terdapat bermacam-macam sesuai dengan aliran sosiologi umum yang mereka ikuti. Dari pengamatan dan perbandingan karya-karya sosiologi umum satu dengan yang lain sudah cukup diketahui bahwa dalam lingkungan (era) sosiologi umum itu sendiri terdapat jenis aliran yang berbeda-beda.
Adanya perbedaaan jenis sosiologi dengan ciri-cirinya tersendiri dapat diterangkan sebagai berikut. Pertama, terdapat perbedaan visi atas realitas masyarakat, teristimewa mengenai kekuatan tertentu yang dianggap memainkan peranan dominan atas kehidupan masyarakat. Kedua, akibat dari perbedaan visi itu digunakan pula metode dan pendekatan yang berbeda jua untuk mempelajari masyarakat. Sudah barang tentu tiap-tiap aliran memakai metode yang dianggap paling kena untuk mengungkapkan keistimewaan realitas masyarakat itu. Dengan demikain kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan mengandung tekanan-tekanan tersendiri yang diwarnai dengan visi dan sikap-sikap yang menguasainya.
Sekurang-kurangnya, dikenal empat macam jenis sosiologi agama, yaitu :
þ Aliran klasik
þ Aliran positivisme
þ Aliran teori konflik
þ Aliran fungsionaisme
ΠAliran klasik
Aliran ini muncul pada pertengahan abad ke-19 dan belahan pertama dari abad ke-20 yang ditopang oleh sejumlah sarjana (kecuali Durkheim dan Webber, masih dapat ditambah yang dengan Toqueville, Marks, Toennis, Simmel, Pareto, Spencer, dll). Karya tulis para sarjana tersebut masih tetapa akan dibaca dan kiranya tidak pernah akan ditinggalkan sama sekali. Karya mereka lebih bercorak sosiologi dasar daripada sosiologi agama dengan pengecualia Durkheim dann Webber. Bagi mereka kedudukan sosiologi (agama) sangat dekat dengan sejarah dan filsafat dan merupakan suatu refleksi dan analisis sistematis terhadap masyarakat, kebudayaan, dan agama sebagai proyek manusia. Tujuannya hendak mengungkapkan pola-pola sosial dasar dan peranannya dalam menciptakan masyarakat.
 Aliran Positivisme
Aliran ini mengikuti sosiologi yang empiris-positivistis dan menjajarkan masyarakat (dan masyarakat agama) sama dengan benda-benda alamiah. Ia menyibukkan diri dengan kuantifikasi dari dimensi masyarakat yang kualitatif dengan metode pengukuran yang eksak dan menarik kesimpulan yag dibuktikan dengan fakta-fakta. Dengan kata lain, kesimpulan yang sifatnya netral tanpa diwarnai pertimbangan teologis atau filosofis, dilepas dari konteks sejarah perkembangannya yang dialami masyarakat itu dalam waktu yang lampau. Cara penganalisisan demikian itu dipegang ketat dan konsekuen demi tercapainya hasil yng diinginkan, yaitu hasil yang se-obyektif mungkin.
Ž Aliran teori konflik
Dalam pandangan ahli sosiologi, aliran ini masyarakat yang baik (sehat) ialah masyarakat yang hidup dalam situasi konfliktual. Masyarakat yang disebut dalam keadaan keseimbangan (equilibrium) dianggapnya sebagai masyarakat yang tertidur dan berhenti dalam proses kemajuannya. Karena konflik (bentrokan) sosial dianggapnya sebagai kekuatan sosial dari perkembangan masyarakat yang ingin maju kepada tahap-tahap yang lebih sempurna. Gagasan konfliktual ini (yang skemanya diciptakan oleh filsuf Hegel sebagai tesis-antitesis-sintesis) didukung oleh K. Marx, F. Oppenheimer, A. Weber, dan W. Sombart, sebagai sarana mutlak (yang diberikan oleh alam sendiri) untuk memajukan masyarakat manusia. Aliran teori konflik ini tidak sependapat dengan para ahli aliran fungsionalisme, yang melihat equilibrium sosial masyarakat sebagai bentuk hidup sosial yang ideal, karena dianggap kurang menyadari, atau membiarkan adanya kekurangan dan ketidakadilan yang dibungkam oleh struktur kekuasaan yang bertahan. Dari sisi lain sosiologi aliran teori konflik ini (yang juga disebut sosiologi kritis) tidak dapat menyetujui metode kuantitatif dari aliran positivism, karena dianggapnya sebagai suatu arus yang mengasingkan orang dari masyarakat.
 Aliran Fungsionalisme
Pendukung-pendukung bertolak dari pendirian dasar bahwa masyarakat itu suatu perimbangan, dimana setiap kelompok memberikan sumbangannya yang khas melalui peranannya masing-masing yang telah ditentukan demi lestarinya siste perimbangan sebagai keseluruhan. Arti dan makna dari sebuah kegiatan sosial hanya dimengerti dengan baik apabila orang dapat menemukan setepatnya tempat dan fungsinya dan dalam keseluruhan sistem sosial. Dalam kerangka pemikiran itu timbulnya suatu bentrokan dalam organisasi dipandang berfungsi korektif untuk membetulkan kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam subbagian (baca : institusi) yang tidak berjalan baik.
Penelitian yang sebagian besar ditujukan untuk mendapatkan keterangan-keterangan tentang berfungsi baiknya peranan-peranan (tugas-tugas) yang dilaksanakan semua bagian di semua lapisan baik dari pemegang pimpinan maupun yang dipimpin. Dalam kerangka penegakan seluruh system masyarakatsebagai suatu neraca keseimbangan yang harmonis, aliran fungsionalisme ini dapat menerima prinsip kerja yang memperkecil lingkup penelitiannya pada suatu problem mikro yang dianggap berguna sebagai sampel untuk mengetahui keadaan keseluruhannya sebagai sistem keseimbangan.
KESIMPULAN
F Sosiologi agama ialah suatu cabang sosiologi umum yng mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.
F Sosiologi agama mempunyai kedudukan yang sama tingginya dengan rumpun ilmu sosial yang lain. Namun bila dilihat sejarah kelahiran dan berkembangnya sosiologi agama itu, maka ilmu ini lebih merupakan ilmu terpakai daripada ilmu teoritis murni.
F Empat macam jenis sosiologi agama :
o Aliran klasik
o Aliran positivisme
o Aliran teori konflik
o Aliran fungsionaisme
DAFTAR PUSTAKA
Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Yogyakarta : Kanisius,1988).
O’Dea, Thomas F., Sosiologi Agama, (Yogyakarta : Kanisius,1986).
Durkheim, Emile, The Elementary Forms of The Religious Life. trans. By Joseph Ward Swain (Glencoe, III : The Free Press, 1954; George Allen & Unwin Ltd.
D. KESIMPULAN
Proses perkembangan sosiologi dibagi menjadi tiga perkembangan, antara lain, perkembangan sosiologi klasik, perkembangan sosiologi modern, serta perkembangan sosiologi Islam. Ketiga perkembangan sosiologi tersebut juga berpengaruh terhadap perkembangan sosiologi di Indonesia.Perkembangan sosiologi tidak terlepas dari campur tangan dan pemikiran perintis sosiologi yang mengerahkan seluruh akal, pikiran, dan tenaganya untuk pembaharuan sosiologi agar lebih baik lagi. Di dalam sosiologi terdapat beberapa aliran yang mempengaruhi perkembangan sosiologi dan memiliki beberapa fungsi yang mendukung untuk perkembangan ilmu sosiologi.Aliran-aliran tersebut adalah aliran struktural fungsionalis, aliran analitis, aliran modernisasi internasional, dan aliran positivistik atau positivisme

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "MAKALAH SOSIOLOGI AGAMA"

Post a Comment