I. PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Agama Islam yang berdasarkan al-Qur’an dan
al-Hadits sebagai tuntunan dan pegangan bagi kaum muslimin mempunyai fungsi
tidak hanya mengatur dalam segi ibadah saja melainkan juga mengatur umat dalam
memberikan tuntutan dalam masalah yang berkenaan dengan kerja.
Rasulullah SAW bersabda:
اعْـمَـلْ لِـدُنْـيَاكَ كَأَنَّكَ تَعِـيْشُ اَبَـدًا
وَاعْـمَـلْ لِاخِـرَتِكَ كَأَنَّكَ تَـمُوْتُ غَـدًا )رواه الـبيهقى(
Artinya : “Bekerjalah untuk duniamu seolah - olah kamu akan hidup
selama-lamanya dan bekerjalah untuk akhiratmu seolah-olah kamu akan mati besok
pagi”.(HR. Al Baihaqi)
Amalan di dunia ini bukan semata-mata
untuk kepentingan manusia secara individual saja, tetapi untuk kemaslahatan
seluruh manusia dan ketertiban kehidupan manusia. Tidaklah pantas bagi manusia
hidup di dunia ini sekedar untuk mengambil dan tidak pernah memberi sesuatu
hasil dari jerih payahnya. Kerja dan pekerjaan merupakan suatu aspek kehidupan
manusia guna mewujudkan kemakmuran hidupnya.
Bekerja adalah fitrah dan
sekaligus merupakan salah satu identitas manusia, sehingga bekerja yang
didasarkan prinsip-prinsip iman tauhid, bukan saja menunjukkan fitrah seorang
muslim, tetapi sekaligus meninggikan martabatnya sebagai Abdullah (hamba Allah)
yang mengelola seluruh alam sebagai bentuk dari cara dirinya mensyukuri
kenikmatan dari Allah Rabbul 'alamin. Di antara manusia ada yang enggan bekerja
dan berusaha dengan alasan bertawakal dan pasrah kepada allah SWT. Menunggu
rezeki dari langit. Mereka salah memahami ajaran Islam, pasrah kepada Allah
tidak berarti meninggalkan amal dan usaha yang merupakan sarana untuk
memperoleh rezeki. Dengan demikian sangat besar tuntutan untuk bekerja, tidak
ada alasan lagi bahwa kaum muslimin berada dalam kemunduran, pengangguran,
kemiskinan dan keterbelakangan. Terlihatnya realita kehidupan umat seperti
kemunduran, pengangguran, kemiskinan dan keterbelakangan ternyata melahirkan
sinyalemen bahwa keadaan umat yang demikian dikarenakan umat muslim tersebut
menderita kelemahan etos kerja.
Masalah etos kerja
menjadi salah satu bahan pembicaran yang ramai di masyarakat. Pembicaraan itu
tidak jarang dalam suasana khawatir bahwa jika sebagai bangsa atau umat muslim
tidak dapat menumbuhkan etos kerja yang baik, maka kemungkinan besar umat Islam
akan tetinggal oleh umat non-Muslim yang telah maju dan makmur. Dengan demikian
perlu adanya kesadaran yang mendalam dalam pribadi muslim untuk menumbuhkan
semangat bekerja. Dengan cara pandang seperti ini, sadarlah bahwa setiap muslim
tidaklah akan bekerja hanya sekedar bekerja, asal mendapat gaji, dapat surat
pengangkatan atau sekedar menjaga gengsi supaya tidak disebut sebagai
pengangguran karena kesadaran bekerja secara produktif serta dilandasi semangat
tauhid dan tanggungjawab uluhiyah merupakan salah satu ciri khas karakkter
pribadi muslim.
Berkenaan dengan uraian
di atas, penulis tertarik untuk mengangkat etos kerja sebagai topik penelitian
dan berkeinginan mengadakan penelitian yang lebih mendalam dalam bentuk studi
literature secara spesifik dengan judul: ETOS KERJA DALAM PERSPEKTIF ISLAM.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah
yang telah dikemukakan sebelumnya, maka permasalahan yang akan dibahas dalam
penelitian ini adalah: Bagaimanalah Etos kerja dalam perspektif ISLAM ?
2. PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
ETOS KERJA
1. Pengertia Etos
Etos
berasal dari bahasa Yunani (etos) yang memberikan arti
sikap, kepribadian, watak, karakter, serta keyakinan atas sesuatu. Sikap ini
tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat.
Dalam al-Qur’an dikenal kata itqon yang
berarti proses pekerjaan yang sungguh-sungguh, akurat dan sempurna.
yì÷Yß¹ «!$# üÏ%©!$# z`s)ø?r& ¨@ä. >äóÓx« 4 ¼çm¯RÎ) 7Î7yz $yJÎ/ cqè=yèøÿs? ÇÑÑÈ
“Begitulah
penciptaan Allah SWT, yang membuat dengan (itqon) kokoh tiap-tiap sesuatu.
Sesungguhnya Allah SWT Maha mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. an–Naml :
88)
Berkaitan
dengan ayat tersebut, Imam Ibnu Jarir Ath-Thobbari menukil pendapat Ibnu
Abbas ketika menafsirkan ayat di atas, yaitu Allah SWT
membaguskan segala ciptaan-Nya serta mengokohkannya. Jadi, jelas
sekali dalam Itqon terdapat proses pekerjaan yang sungguh-sungguh,
akurat, dan sempurna . Inilah pekerjaan yang professional, perfect, dan
berdedikasi tinggi. Karena pentingnya etos kerja (itqon) dalam setiap
amal pekerjaan, Rosulallah SAW bersabda:
إِنَّ الله يُحِبُّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلاً أَنْ يُتْقِنَهُ
“Sesungguhnya Alloh mencintai seseorang jika ia beramal dengan suatu amalan
atau pekerjaan maka ia kerjakan dengan itqon.” (HR. Baihaqi)
2. Pengertian Kerja
Dalam Kamus besar
bahasa Indonesia susunan M.K. Abdullah, S.Pd mengemukakan bahwa kerja adalah “perbuatan
melakukan sesuatu, Kegiatan yang bertujuan mendapatkan hasil”.
KH. Toto Tasmara
dalam bukunya Membudayakan Etos Kerja Islami mendefinisikan “bekerja adalah
aktivitas yang dinamis dan mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan tertentu
(jasmani dan rohani) dan di dalam mencapai tujuannya tersebut dia berupaya
dengan penuh kesungguhan untuk mewujudkan prestasi yang optimal sebagai bukti
pengabdian dirinya kepada Allah SWT”.
Allah swtmenciptakan
alam ini untuk manusia, dan diantara tugas manusia adalah untuk menjadi
khalifah.
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ
فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ : ٢:٣٠
Artinya :
Ingatlah tatkala
Tuhanmu berfirman kepada malaikat, sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang
khalifah dimuka bumi. (QS. Al Baqarah : 30)
Khalifah mengandung arti : pemimpin, mengolah, pemanfaat dan pelestari alam, fungsi
manusia untuk mengolah dan melestarikan alam inilah yang mengharuskan untuk
bekerja keras, sebab sebagian potensi alam baru dapat dimanfaatkan secara
optimal bila telah diolah oleh manusia (dikerjakan).
Di dalam kaitan ini, al-Qur’an banyak
membicarakan tentang aqidah dan keimanan yang diikuti oleh ayat-ayat tentang
kerja, pada bagian lain ayat tentang kerja tersebut dikaitkan dengan masalah
kemaslahatan, terkadang dikaitkan juga dengan hukuman dan pahala di dunia dan
di akhirat. Al-Qur’an juga mendeskripsikan kerja sebagai suatu etika kerja
positif dan negatif. Didalam Buku yang berjudul Membudayakan Etos Kerja
Islami karangan K.H. Toto Kasmara disebutkan Di dalam al-Qur’an banyak kita
temui ayat tentang kerja seluruhnya berjumlah 602 kata, bentuknya :
a. Kita temukan
22 kata ‘amilu (bekerja) di antaranya di dalam surat al-Baqarah: 62, an-Nahl:
97, dan al-Mukmin: 40.
b. Kata ‘amal
(perbuatan) kita temui sebanyak 17 kali, di antaranya surat Hud: 46, dan
al-Fathir: 10.
c.
Kata wa’amiluu (mereka telah mengerjakan) kita temui sebanyak 73 kali,
diantaranya surat al-Ahqaf: 19 dan an-Nur: 55.
d. Kata Ta’malun dan Ya’malun seperti dalam surat
al-Ahqaf: 90, Hud: 92.
e. Kita temukan
sebanyak 330 kali kata a’maaluhum, a’maalun, a’maluka, ‘amaluhu, ‘amalikum,
‘amalahum, ‘aamul dan amullah. Diantaranya dalam surat Hud: 15, al-Kahf: 102,
Yunus: 41, Zumar: 65, Fathir: 8, dan at-Tur: 21.
f. Terdapat 27
kata ya’mal, ‘amiluun, ‘amilahu, ta’mal, a’malu seperti dalam surat
al-Zalzalah: 7, Yasin: 35, dan al-Ahzab: 31.
g. Disamping itu,
banyak sekali ayat-ayat yang mengandung anjuran dengan istilah seperti shana’a,
yasna’un, siru fil ardhi ibtaghu fadhillah, istabiqul khoirot, misalnya
ayat-ayat tentang perintah berulang-ulang dan sebagainya.
Di samping itu,
al-Qur’an juga menyebutkan bahwa pekerjaan merupakan bagian dari iman, pembukti
bahwa adanya iman seseorang serta menjadi ukuran pahala hukuman, Allah SWT
berfirman:
`yJsù tb%x. (#qã_öt uä!$s)Ï9 ¾ÏmÎn/u ö@yJ÷èuù=sù WxuKtã $[sÎ=»|¹ wur õ8Îô³ç
Íoy$t7ÏèÎ/ ÿ¾ÏmÎn/u #Jtnr& ÇÊÊÉÈ
Barangsiapa
mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang
saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada
Tuhannya".(Al-Kahfi: 110)
B.
ETOS KERJA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Perbedaan
antara etos kerja dengan etos kerja islami terletak pada Niatnya, Etos kerja
berupa semangat dan totalitas sikap dalam bekerja Sedangkan Etos kerja islami
merupakan semangat dan totalitas sikap dalam bekerja dan dilandasi dengan
niatan lillahita’ala sehingga pekerjaannya tersebut selain mendatangkan materi
juga menjadi amal.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam Bersabda
عن أمير المؤمنين أبي حفص عمر بن
الخطاب رضي الله عنه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول " إنما
الأعمال بالنيات , وإنما لكل امرئ ما نوى ,
فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله
ورسوله , ومن كانت هجرته إلى دنيا يصيبها و امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه
" متفق عليه
Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh, Umar
bin Al-Khathab radhiyallahu 'anhu, ia berkata : “Aku mendengar Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Segala amal ( Pekerjaan)itu tergantung
niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Maka barang siapa
yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan
Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya itu Karena kesenangan dunia atau karena
seorang wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu kepada apa yang
ditujunya”.
Di Dalam Al-Qur’an
Suroh An-najm ayat 39 juga dijelaskan
br&ur }§ø©9 Ç`»|¡SM~Ï9 wÎ) $tB 4Ótëy ÇÌÒÈ
Dan bahwasanya
seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya( QS.
An-Najm: 39)
Nilai suatu pekerjaan tergantung kepada niat
pelakunya yang tergambar pada firman Allah SWT agar kita tidak membatalkan
sedekah (amal kebajikan) dan menyebut-nyebutnya sehingga mengakibatkan penerima
merasa tersakiti hatinya.
$ygr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä w (#qè=ÏÜö7è? Nä3ÏG»s%y|¹ Çd`yJø9$$Î/ 3sF{$#ur É©9$%x. ß,ÏÿYã ¼ã&s!$tB uä!$sÍ Ä¨$¨Z9$# wur ß`ÏB÷sã «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# (
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti
(perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya
kepada manusia dan Dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian (QS. Al-Baqarah
: 264)
Ayat ini dimulai dengan panggilan
mesra Ilahi, Wahai orang-orang yang beriman, disusul dengan larangan, jangan
membatalkan, yakni ganjaran sedekah kamu. Kata ganjaran tidak disebutkan dalam
ayat ini untuk mengisyaratkan, bahwa sebenarnya bukan hanya ganjaran atau hasil
dari sedekah itu yang hilang, tetapi juga sedekah yang memberikan modal pun
hilang tidak berbekas, keduanya hilang lenyap. Allah bermaksud
melipatgandakannya namun kamu sendiri yang melakukan sesuatu yang
mengakibatkannya hilang lenyap, karena kamu menyebut-nyebutnya dan mengganggu
perasaan si penerima. Sungguh tercela sifat mereka. (Tafsir Al-Mishbah,vol
1,h.571-572)
Dua kelakuan buruk di
atas dipersamakan dengan dua hal buruk yaitu pamrih dan tidak beriman. Orang
yang pamrih melakukan sesuatu dengan tujuan mendapat pujian manusia tidak wajar
mendapat ganjaran dari Allah. Yang tampak oleh manusia bahwa dia bersedekah karena
Allah, padahal dia bermaksud meraih pujian orang melalui sedekahnya, serta
tujuan-tujuan duniawi lainnya, dengan memutuskan perhatiannya dari interaksi
dengan Allah dan dari tujuan meraih keridhaan-Nya (Tafsir Ibnu Katsir,h.440).
Kelakukannya itu menunjukkan
ia tidak percaya kepada Allah tidak juga hari Kemudian. Bersedekah dengan
pamrih (riya’) diibaratkan seperti batu licin yang di atasnya ada tanah,
kemudian batu itu ditimpa hujan lebat. Seandainya dia bukan batu licin
seandainya batu retak, berlubang, atau berpori-pori, bisa jadi tanah yang
tersisa, jadi ada sisa-sisa yang tidak keluar akibat hujan, tetapi dia batu
licin yang halus, licin, dan dengan sedikit air saja sudah dapat
membersihkannya apalagi kalau hujan lebat, maka ia menjadi bersih, tidak
meninggalkan sedikit tanah atau debu pun. Dan dengan demikian, mereka tidak
menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan, yakni tidak mendapat
sesuatu apapun dari sedekah mereka itu, dan memang Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang kafir, di antaranya mereka yang mengkufuri nikmat-Nya
dan tidak mensyukuri-Nya. (Tafsir Al-Mishbah,vol 1,h.572-573)
Bekerja keras adalah merupakan kewajiban yang harus ditunaikan oleh setiap orang yang mengaku dirinya beriman kepada Allah SWT, hal ini dibuktikan dengan banyaknya perintah Allah dalam Al-quran yang menyuruh untuk bekerja, seperti Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an:
#sÎ*sù ÏMuÅÒè% äo4qn=¢Á9$# (#rãϱtFR$$sù Îû ÇÚöF{$# (#qäótGö/$#ur `ÏB È@ôÒsù «!$# (#rãä.ø$#ur ©!$# #ZÏWx. ö/ä3¯=yè©9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÉÈ
“
Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan
carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”
(QS. Al-Jumu’ah: 10)
Pada ayat ini dijelaskan, yaitu apabila telah ditunaikan
shalat, maka bersegeralah mencari karunia Allah, kembali pada kegiatan
masing-masing bertebaran dimuka bumi untuk mencari rizki yang halal dan baik.
Diakhir
ayat, Allah SWT menganjurkan bahwa dalam mencari rizki supaya banyak berdzikir
kepada-Nya agar memperoleh keberuntungan. Dzikir artinya ingat atau menyebut.
Dzikrullah adalah bagian terpenting dalam kehidupan umat Islam, baik dalam
kaitannya dengan masalah aqidah, ubudiyah dan akhlak. Baik dalam hubungan
dengan Allah maupun hubungan sesama manusia, Rasulullah adalah orag yang paling
banyak berdzikir, selalu ingat kepada Allah baik dalam situasi dan kondisi
apapun.
Dalam sebuah hadist disebutkan :
عن عائيسة رضي الله
عنها قالت : كان رسول الله ص.م. يذكر الله على كلّ احيانه. (رواه مسلم(
“Dari Aisyah ra mengatakan, adalah Rasulullah
SAW berdzikir kepada Allah sepajang hayatnya”( HR. Muslim)
Setiap muslim dapat melihat bagaimana Allah
menjelsakan format ibadah pada-Nya. Selain dituntut untuk shalat kemudian
berusaha mencari nafkah. Tidak berpangku tangan dan bermalasan menunggu
datangnya rezeki, seumpama dengan meminta sedekah.
Rosul bersabda
وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ
رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ( مَا
يَزَالُ اَلرَّجُلُ يَسْأَلُ اَلنَّاسَ حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ اَلْقِيَامَةِ
لَيْسَ فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ )
مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya :
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu
bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Orang yang
selalu meminta-minta pada orang-orang, akan datang pada hari kiamat dengan
tidak ada segumpal daging pun di wajahnya." (Muttafaq Alaihi).
Etos
kerja dalam perspektif Islam juga dapat diartikan sebagai sikap kepribadian
yang melahirkan keyakinan yang sangat mendalam bahwa bekerja itu bukan saja
untuk memuliakan dirinya, menampakkan kemanusiaanya, melainkan juga sebagai
suatu manifestasi dari amal soleh. Sehingga bekerja yang didasarkan pada
prinsip-prinsip iman bukan saja menunjukkan fitrah seorang muslim, melainkan
sekaligus meninggikan martabat dirinya sebagai hamba Allah yang didera
kerinduan untuk menjadikan dirinya sebagai sosok yang dapat dipercaya,
menampilkan dirinya sebagai manusia yang amanah, menunjukkan sikap pengabdian.
Sebagaimana
Firman Allah SWT dalam QS. Adz-Dzaariyat: 56
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur wÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ
Dan
aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku ( QS. Adz-Dzaariyat: 56).
Menurut Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab dalam
tafsirnya, Al-Misbah, penafsiran ayat di atas adalah sebagai berikut: “Dan Aku
tidak menciptakan jin dan manusia untuk satu manfaat yang kembali pada diri-Ku.
Aku tidak menciptakan mereka melainkan agar tujuan atau kesudahan aktivitas
meraka adalah beribadah kepada-Ku.
Firman Allah
SWT dalam Al-Qur’an:
#sÎ*sù |Møîtsù ó=|ÁR$$sù ÇÐÈ
Maka
apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan
sungguh-sungguh (urusan) yang lain[1586],
(QS.Al-Insyiroh :7)
[1586]
Maksudnya: sebagian ahli tafsir menafsirkan apabila kamu (Muhammad) telah
selesai berdakwah Maka beribadatlah kepada Allah; apabila kamu telah selesai
mengerjakan urusan dunia Maka kerjakanlah urusan akhirat, dan ada lagi yang
mengatakan: apabila telah selesai mengerjakan shalat berdoalah. (QS.94:7)
C.
KARAKTERISTIK ETOS
KERJA DALAM ISLAM
1.
Iman dan Taqwa
Yang dinamakan iman adalah
Kata taqwa
(at-taqwa) dan kata-kata kerja serta kata-kata benda yang dikaitkan dengannya
memiliki tiga arti, menurut Abdullah Yusuf Ali
pertama,
takut kepada Allah, merupakan awal dari ke’arifan.
Kedua,
menahan atau menjaga lidah, tangan dan hati dari segala kejahatan.
Ketiga,
ketaqwaan, ketaatan dan kelakuan baik.[2][11]
Dalam Al-qur’an banyak memuat ayat yang manganjurkan
taqwa dalam setiap perkara dan pekerjaan. Ayat-ayat tentang keimanan selalu
diikuti dengan ayat-ayat kerja, demikian pula sebaliknya. Ayat seperti “orang-orang
yang beriman” diikuti dengan ayat “dan mereka yang beramal sholeh”. Jika Allah
SWT ingin menyeru kepada orang-orang mukmin dengan nada panggilan seperti
“Wahai orang-orang yang beriman”, maka biasanya diikuti oleh ayat yang
berorentasi pada kerja dengan muatan ketaqwaan, di antaranya, “keluarkanlah
sebagian dari apa yang telah kami anugerahkan kepada kamu”, “janganlah kamu
ikuti/rusakkan sedekah-sedekah (yang telah kamu keluarkan) dengan olokan-olokan
dan kata-kata yang menyakitkan” ; “wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah
kamu kepada Allah”.[3][12]
Keterkaitan ayat-ayat tersebut memberikan pengertian
bahwa taqwa merupakan dasar utama etos kerja, apapun bentuk dan jenis
pekerjaan, maka taqwa merupakan petunjuknya. Memisahkan kerja dengan iman
berarti mengucilkan Islam dari aspek kehidupan dan membiarkan kerja berjalan
pada wilayah kemaslahatannya sendiri, bukan dalam kaitannya perkembangan
individu, kepatuhan dengan Allah, serta pengembangan umat manusia.
Perlu kiranya dijelaskan disini bahwa kerja
mempunyai etos yang harus diikutsertakan di dalamnya, oleh karena kerja
merupakan bukti adanya iman dan parameter bagi pahala dan siksa. Hendaknya para
pekerja dapat meningkatkan tujuan akhir dari pekerjaan yang mereka lakukan,
dalam arti bukan sekedar mencari upah dan imbalan, karena tujuan utama kerja
adalah demi memperoleh keridhaan Allah SWT sekaligus berkhidmat kepada umat.
Prinsip inilah yang terutama dipegang teguh oleh umat Islam, sehingga hasil
pekerjaan mereka bermutu dan monumental sepanjang zaman.
2. Niat (komitmen)
Pembahasan
mengenai pandangan Islam tentang etos kerja barang kali dapat dimulai dengan
usaha menangkap makna sedalam-dalamnya sabda Nabi yang amat terkenal
إنما
الأعمال بالنيات
bahwa
nilai setiap bentuk kerja itu tergantung kepada niat-niat yang dipunyai
pelakunya, jika tujuannya tinggi (tujuan mencari ridha Allah) maka iapun akan
mendapatkan nilai kerja yang tinggi, dan jika tujuannya rendah (hanya bertujuan
memperoleh simpati sesama manusia belaka), maka setingkat tujuan itu pulalah
nilai kerjanya tersebut.[4][14]
Tinggi
rendahnya nilai kerja itu diperoleh seseorang sesuai dengan dengan tinggi
rendah nilai komitmen yang dimilikinya. Dan komitmen atau niat adalah suatu
bentuk pilihan dan keputusan pribadi yang dikaitkan dengan sistem nilai (value
system) yang dianutnya. Oleh karena itu komitmen atau niat juga berfungsi
sebagai sumber dorongan batin bagi seseorang untuk mengerjakan sesuatu dengan
sunggguh-sungguh.
Sebuah
pekerjaan pekerjaan yang dilakukan tanpa tujuan luhur yang terpusat pada usaha
mencapai ridho Allah berdasarkan iman kepadanya itu adalah bagaikan
fartamorgana. Yakni, tidak mempunyai nilai-nilai atau makna yang suptansial
apa-apa.
D. PRINSIP ETOS KERJA DALAM ISLAM
Menurut
riwayat Al-Baihaqi dalam ‘Syu’bul Iman’ ada empat prinsip etos kerja yang
diajarkan Rasulullah. Keempat prinsip itu harus dimiliki kaum beriman jika
ingin menghadap Allah dengan wajah berseri bak bulan purnama.
Pertama, bekerja secara halal (thalaba ad-dunya
halalan). Halal dari segi jenis pekerjaan sekaligus cara menjalankannya.
Antitesa dari halal adalah haram, yang dalam terminologi fiqih terbagi menjadi
‘haram lighairihi’ dan ‘haram lidzatihi’.
Analoginya,
menjadi anggota DPR adalah halal. Tetapi jika jabatan DPR digunakan mengkorupsi
uang rakyat, status hukumnya jelas menjadi haram. Jabatan yang semula halal
menjadi haram karena ada faktor penyebabnya. Itulah ‘haram lighairihi’. Berbeda
dengan preman. Dimodifikasi bagaimanapun ia tetap haram. Keharamannya bukan
karena faktor dari luar, melainkan jenis pekerjaan itu memang ‘haram
lidzatihi’.
Kedua, bekerja demi menjaga diri supaya tidak
menjadi beban hidup orang lain (ta’affufan an al-mas’alah). Kaum beriman
dilarang menjadi benalu bagi orang lain. Rasulullah pernah menegur seorang
sahabat yang muda dan kuat tetapi pekerjaannya mengemis. Beliau kemudian
bersabda, “Sungguh orang yang mau membawa tali atau kapak kemudian mengambil
kayu bakar dan memikulnya di atas punggung lebih baik dari orang yang mengemis
kepada orang kaya, diberi atau ditolak” (HR Bukhari dan Muslim).
Dengan
demikian, setiap pekerjaan asal halal adalah mulia dan terhormat dalam Islam.
Lucu jika masih ada orang yang merendahkan jenis pekerjaan tertentu karena
dipandang remeh dan hina. Padahal pekerjaan demikian justru lebih mulia dan
terhormat di mata Allah ketimbang meminta-minta.
Ketiga, bekerja demi mencukupi kebutuhan keluarga
(sa’yan ala iyalihi). Mencukupi kebutuhan keluarga hukumnya fardlu ain. Tidak
dapat diwakilkan, dan menunaikannya termasuk kategori jihad. Hadis Rasulullah
yang cukup populer, “Tidaklah seseorang memperoleh hasil terbaik melebihi yang
dihasilkan tangannya. Dan tidaklah sesuatu yang dinafkahkan seseorang kepada
diri, keluarga, anak, dan pembantunya kecuali dihitung sebagai sedekah” (HR
Ibnu Majah).
Tegasnya,
seseorang yang memerah keringat dan membanting tulang demi keluarga akan
dicintai Allah dan Rasulullah. Ketika berjabat tangan dengan Muadz bin Jabal,
Rasulullah bertanya soal tangan Muadz yang kasar. Setelah dijawab bahwa itu
akibat setiap hari dipakai bekerja untuk keluarga, Rasulullah memuji tangan
Muadz seraya bersabda, “Tangan seperti inilah yang dicintai Allah dan
Rasul-Nya”.
Keempat, bekerja untuk meringankan beban hidup
tetangga (ta’aththufan ala jarihi). Penting dicatat, Islam mendorong kerja
keras untuk kebutuhan diri dan keluarga, tetapi Islam melarang kaum beriman
bersikap egois. Islam menganjurkan solidaritas sosial, dan mengecam keras sikap
tutup mata dan telinga dari jerit tangis lingkungan sekitar.
(#qãZÏB#uä «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur (#qà)ÏÿRr&ur $£JÏB /ä3n=yèy_ tûüÏÿn=øÜtGó¡B ÏmÏù ( tûïÏ%©!$$sù (#qãZtB#uä óOä3ZÏB (#qà)xÿRr&ur öNçlm; Öô_r& ×Î7x. ÇÐÈ
“Hendaklah
kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian harta yang
Allah telah menjadikanmu berkuasa atasnya.” (Qs Al-Hadid: 7).
Lebih
tegas, Allah bahkan menyebut orang yang rajin beribadah tetapi mengabaikan
nasib kaum miskin dan yatim sebagai pendusta-pendusta agama .
|M÷uäur& Ï%©!$# Ü>Éjs3ã ÉúïÏe$!$$Î/ ÇÊÈ Ï9ºxsù Ï%©!$# íßt zOÏKuø9$# ÇËÈ wur Ùçts 4n?tã ÏQ$yèsÛ ÈûüÅ3ó¡ÏJø9$# ÇÌÈ
Artinya
tahukah
kamu (orang) yang mendustakan agama?(1)Itulah orang yang menghardik anak
yatim(2)dan tidak menganjurkan memberi Makan orang miskin(3) (Qs Al-Ma’un:
1-3).
Itu karena
tidak dikenal istilah kepemilikan harta secara mutlak dalam Islam. Dari setiap
harta yang Allah titipkan kepada manusia, selalu menyisakan hak kaum lemah dan
papa.
Demikianlah,
dan sekali lagi, kemuliaan pekerjaan sungguh tidak bisa dilihat dari jenisnya.
Setelah memenuhi empat prinsip di atas, nilai sebuah pekerjaan akan diukur dari
kualitas niat (shahihatun fi an-niyat) dan pelaksanaannya (shahihatun fi
at-tahshil). Itulah pekerjaan yang bernilai ibadah dan kelak akan mengantarkan
pelakunya ke pintu surga.
III.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Etos kerja islami merupakan semangat dan
totalitas sikap dalam bekerja dan dilandasi dengan niatan lillahita’ala
sehingga pekerjaannya tersebut selain mendatangkan materi juga menjadi amal.
Komponen
Dasar Etos Kerja Dalam Islam
1.Iman dan
Taqwa
2. Niat (komitmen)
Prinsip
Etos Kerja Dalam Islam
Pertama, bekerja
secara halal (thalaba ad-dunya halalan).
Kedua, bekerja
demi menjaga diri supaya tidak menjadi beban hidup orang lain (ta’affufan an
al-mas’alah).
Ketiga, bekerja
demi mencukupi kebutuhan keluarga (sa’yan ala iyalihi).
Keempat, bekerja
untuk meringankan beban hidup tetangga (ta’aththufan ala jarihi).
0 Response to "MAKALAH ( ETos KErja Dalam Perspektif Islam)"
Post a Comment