Agama Dan Sain Modern
1.
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Dalam perkembangannya, Iptek sering kali berbenturan atau dibenturkan dengan
agama yang berakibat pada kegagalannya dalam misi kemanusian,. Distorsi ini
juga dapat dialami oleh profesi pekerjaan sosial sebagai aktivitas kemanusiaan
yang tidak peduli terhadap nilai-nilai.
Integrasi antara keduanya dalam praktek
pekerjaan sosial merupakan sebuah keharusan sebab pendekatan moderen dan agama
dalam praktek pekerjaan sosial merupakan dua hal yang tidak dapat terpisahkan. Modernitas dan perkembangan zaman telah
menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih dengan berbagai dampak
positif sekaligus negatif. Nilai positif dapat terlihat apa yang dianggap gaib
dan tidak mungkin di masa silam menjadi nyata dan fakta dimasa kini. Sedangkan
ekses negativnya terlihat ketika ilmu
pengetahuan dan teknologi diper-Tuhan-kan.
Rasa ingin tahu manusia mendorongnya tidak
segera puas pada satu penemuan saja.
Pertumbuhan ilmu pengetahuan dan ideology pun
terus menjamur, selanjutnya tumbang dan berganti lagi dengan bangun keilmuan
dan idelogi yang baru. Lingkaran ketidak pastian ini berlanjut atas dasar
paradigma rasionalis - empris disatu pihak dan alienasi
terhadap agama pada pihak lain. Akibatnya adalah manusia ditawan dan
dibingungkan oleh hasil penemuan dan perilakunya sendiri dengan lahirnya
masalah baru yang lebih kompleks. Dari sanalah kita harus mengetahui seluk beluk
mengenai ilmu pengetahuan modern dan
agama.
B.
Rumusan masalah
- Apakah pengertian agama dan sain modern ?
- Apa saja perbedaan Perbedaan pendekatan Ilmu dan agama
- Apakah Sintesis ilmu dan agama
2.
PEMBAHASAN
AGAMA DAN SAIN
MODERN
A.
Agama
- Pengertian Agama
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan
peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan
dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Kata
"agama" berasal dari bahasa
Sanskerta, āgama yang berarti "tradisi" [1].
Agama semakna juga
dengan kata “ad-Din” (bahasa arab) yang berarti cara, adat kebiasaan,
peraturan, undang-undang taat dan patuh, mengesakan tuhan, pembalasan,
perhitungan, hari kiamat dan nasihat [2].
Agama menurut agama islam ialah peraturan yang mendorong jiwa untuk
memegang aturan Tuhan dalam mencapai kebaikan dunia dan akhirat [3]
Menurut Durkheim dalam
buku Gambaran Pertama bagi Penghidupan Keagamaan bahwa Agama adalah alam
ghaib yang tidak dapat diketahui oleh akal dan pikiran manusia atau Agama
adalah suatu bagian dari pengetahuan yang tidak dapat dicapai oleh
ilmupengetahuan biasa dan tidak dapat diperoleh dengan pikiran saja.
Menurut al-Syahratani
dalam buku Al-Minal wa al- Nihal berpendapat bahwa agama adalah ketaatan dan
kepatuhan yang terkadang biasa diartikan sebagai pembalasa dan perhitungan
(amal perbuatan di akhirat) [4].
- Ciri-ciri Agama
Kreteria yang harus dimiliki oleh suatu agama yaitu:
1) Adanya sistem keyakinan/kepercayaan terhadap Tuhan Sebagai Zat Maha
Pencipta dan Maha Suci.
2) Adanya sistem persembahan berisi peraturan tata cara pelaksanaan
ibadah/peribadatan manusia terhadap Tuhan yang telah diyakininya.
3) Adanya kitab suci yang menghimpun hukum/peraturan ketetapan Tuhan sebagai
pedoman bagi para pemeluknya.
4) Adanya Rasul utusan Tuhan yang menyampaikan ajaran Tuhan itu kepada manusia
agar memenuhi segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya[5].
- Penggolongan Agama
Ditinjau dari asal atau sumbernya dibagi dua bagian yaitu:
1) Agama Samawiyah ialah agama yang datangnya dari Allah dalam wujud wahyu
yang ciri pokoknya Tauhid dan adanya Rasul yang ditugaskan untuk menyampaikan
kepada manusia. Yang tergolong agama Samawiyah ini ialah agama Yahudi, Nasrani
dan Islam.
2)
Agama Ardhiyah yaitu agama yang dibentuk oleh budaya/kebudayaan manusia.
Agama semacam ini sering berpaham animisme dan dinamisme. Konsepsi agamanya
selalu berubah-ubah menurut dan sesuai dengan keinginan masyarakat pemeluknya.
Yang tergolong agama Ardhiyah ini adalah agama Hindu, Buddha, konghucu, Shinto
dan lain-lain[6].
- Fungsi Agama[7]
- Sumber pedoman hidup bagi individu maupun kelompok
- Mengatur tata cara hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia.
- Merupakan tuntutan tentang prinsip benar atau salah
- Pedoman mengungkapkan rasa kebersamaan
- Pedoman perasaan keyakinan
- Pedoman keberadaan
- Pengungkapan estetika (keindahan)
- Pedoman rekreasi dan hiburan
- Memberikan identitas kepada manusia sebagai umat dari suatu agama.
B.
Sain Modern
Kata sain berasal dari kata science,scienta, scine yang
artinya mengetahui. Dalam kata lain, sain adalah logos, sendi atau ilmu.
Sain dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang bertuan untuk mencari
kebenaran berdasarkan fakta atau fenomena alam[8]
Istilah sains menurut H. Smith Williams adalah sebuah kata yang
mengandung beberapa hal yaitu:
Pertama : bundelan pengetahuan yang didapatkan melalui observasi (gathering knowledge through observation);
Kedua : sains adalah klasifikasi pengetahuan tertentu yang
dielaborasi dari prinsip-prinsip dan gagasan umum (classification of such knowledege, and through
this classification, the elaboration of general ideas or principles) [9].
Pada abad pertengahan istilah sains tentu belum dikenal dan merujuk
pada pengertian sebagaimana yang terpahami pada saat sekarang. Sebab, pada masa
itu istilah sains merupakan bagian dari pembahasan tentang filsafat alam.
Sejarah sains sendiri bermula sejak lebih dari ribuan tahun sebelum masehi.
Babylonia, Egypt, bahkan bangsa-bangsa yang sampai pada kita hanya jejak fosil
peradabannya, pada dasarnya sudah mempunyai tradisi pengetahuan dan teknologi
sendiri. Meskipun, pada akhirnya wacana yang berkembang sekarang lebih
memantapkan tradisi filsafat Yunani sebagai cikal bakal perkembangan sains.
Agama adalah
penghambaan manusia kepada Tuhannya. Dalam pengertian agama terdapat 3 unsur,
ialah manusia, penghambaan dan Tuhan. Maka suatu paham atau ajaran yang mengandung ketiga unsur pokok pengertian
tersebut dapat disebut agama.
Lebih luasnya lagi, agama juga bisa diartikan sebagai
jalan hidup. Yakni bahwa seluruh aktivitas lahir dan batin pemeluknya diatur
oleh agama yang dianutnya. Bagaimana kita makan, bagaimana kita bergaul,
bagaimana kita beribadah, dan sebagainya ditentukan oleh aturan/tata cara
agama.
Agama adalah suatu system kepercayaan kepada tuhan yang dianut oleh
sekelompok manusia dengan selalu mengadakan interaksi dengan-nya. Pokok
persoalan yang dibahas dalam agama adalah interaksi tuhan, manusia dan hubungan
manusia dengan tuhan. Tuhan dan hubungan manusia dengan-nya merupakan aspek
metafisika, sedangkan manusia sebagai makhluk. Dengan demikian, filsafat
membahas agama dari segi metafisika dan fisika.
Ditinjau
dari segi objek material filsafat agama objeknya berdimensi metafisik dan
fisik. Sedangkan di tinjau dari objek formalnya adalah sudut pandang yang
menyeluruh, rasional, objektif, bebas, dan radikal tentang pokok-pokok agama.
Karena itu pembahasan filsafat agama perlu di tekankan pada segi obyektivitas,
kendati tidak di nafikan sama sekali masuknya unsure subjektivitas tadi. Namun,
dari pembahasan dasar agama yang besifat umum di usahakan seobjektif mungkin.
Berfikir
secara bebas dalam membahas dasar-dasar agama data mengambil dua bentuk, yaitu
:
a. Membahas dasar-dasar agama secara analitis dan kritis tanpa terikat pada ajaran-ajaran
dan tanpa ada tujuan untuk menyatakan kebenaran suatu agama :
b.
Membahas dasar-dasa agama secara analitis dan kritis dengan maksud untuk
menyatakan kebenaran ajaran-ajaran
agama, atau sekurang-kurangnya untuk menjelaskan bahwa apa yang
diajarkan agama tidak bertentangan dengan logika. Dalam pembahasan semacam ini
seseorang masih terikat pada ajaran agama. Dengan demikian, bias dikatakan
bahwa filsafat agama pada hakikatnya adalah pembahasan yang mendalam tentang
ajaran dasar agama.
Pada abad ke-19 dan
ke-20, praktek akademik perbandingan agama membagi keyakinan agama ke dalam
kategori yang didefinisikan secara filosofis disebut "agama-agama
dunia". Namun, beberapa sarjana baru-baru ini telah menyatakan bahwa tidak
semua jenis agama yang harus dipisahkan oleh filosofi yang saling eksklusif,
dan selanjutnya bahwa kegunaan menganggap praktek ke filsafat tertentu, atau
bahkan menyebut praktik keagamaan tertentu, ketimbang budaya, politik, atau
sosial di alam, yang terbatas.[24][25][26] Keadaan saat studi
psikologis tentang sifat religiusitas menunjukkan bahwa lebih baik untuk
merujuk kepada agama sebagai sebagian besar fenomena invarian yang harus
dibedakan dari norma-norma budaya ( yaitu " agama " )[27].
Beberapa akademisi mempelajari subjek telah membagi
agama menjadi tiga kategori :
1. agama-agama dunia, sebuah istilah yang mengacu pada yang transkultural,
agama internasional;
2. agama pribumi, yang mengacu pada yang lebih kecil, budaya-tertentu atau
kelompok agama-negara tertentu, dan
a. Cara
Beragama
Berdasarkan cara beragamanya:
1)
Tradisional, yaitu cara
beragama berdasar tradisi. Cara ini mengikuti cara beragama nenek moyang,
leluhur, atau orang-orang dari angkatan sebelumnya. Pemeluk cara agama tradisional
pada umumnya kuat dalam beragama, sulit menerima hal-hal keagamaan yang baru
atau pembaharuan, dan tidak berminat bertukar agama.
2)
Formal, yaitu cara
beragama berdasarkan formalitas yang berlaku di lingkungannya atau
masyarakatnya. Cara ini biasanya mengikuti cara beragamanya orang yang
berkedudukan tinggi atau punya pengaruh. Pada umumnya tidak kuat dalam
beragama. Mudah mengubah cara beragamanya jika berpindah lingkungan atau
masyarakat yang berbeda dengan cara beragamnya. Mudah bertukar agama jika
memasuki lingkungan atau masyarakat yang lain agamanya. Mereka ada minat
meningkatkan ilmu dan amal keagamaannya akan tetapi hanya mengenai hal-hal yang
mudah dan nampak dalam lingkungan masyarakatnya.
3)
Rasional, yaitu cara
beragama berdasarkan penggunaan rasio sebisanya. Untuk itu mereka selalu
berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan pengetahuan, ilmu dan
pengamalannya. Mereka bisa berasal dari orang yang beragama secara tradisional
atau formal, bahkan orang tidak beragama sekalipun.
4)
Metode Pendahulu, yaitu cara
beragama berdasarkan penggunaan akal dan hati (perasaan) di bawah wahyu. Untuk
itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan ilmu,
pengamalan dan penyebaran (dakwah). Mereka selalu mencari ilmu dulu kepada
orang yang dianggap ahlinya dalam ilmu agama yang memegang teguh ajaran asli
yang dibawa oleh utusan dari Sesembahannya semisal Nabi atau Rasul sebelum
mereka mengamalkan, mendakwahkan dan bersabar (berpegang teguh) dengan itu
semua.
b. Unsur-unsur
Agama
Menurut Leight, Keller dan Calhoun, agama terdiri dari beberapa unsur
pokok:
a.
Kepercayaan agama, yakni suatu
prinsip yang dianggap benar tanpa ada keraguan lagi
- Simbol agama, yakni identitas agama yang dianut umatnya.
c.
Praktik keagamaan, yakni hubungan
vertikal antara manusia dan Tuhan-Nya, dan hubungan horizontal atau hubungan
antarumat beragama sesuai dengan ajaran agama
d.
Pengalaman keagamaan, yakni berbagai
bentuk pengalaman keagamaan yang dialami oleh penganut-penganut secara pribadi.
- Umat beragama, yakni penganut masing-masing agama
c. Fungsi Agama
- Sumber pedoman hidup bagi individu maupun kelompok
- Mengatur tata cara hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia.
- Merupakan tuntutan tentang prinsip benar atau salah
- Pedoman mengungkapkan rasa kebersamaan
- Pedoman perasaan keyakinan
- Pedoman keberadaan
- Pengungkapan estetika (keindahan)
- Pedoman rekreasi dan hiburan
- Memberikan identitas kepada manusia sebagai umat dari suatu agama.
2. Sain Modern
Istilah
sains, menurut H. Smith Williams, adalah sebuah kata yang mengandung beberapa
hal yaitu: pertama, bundelan pengetahuan yang didapatkan melalui observasi (gathering
knowledge through observation); kedua, sains adalah klasifikasi
pengetahuan tertentu yang dielaborasi dari prinsip-prinsip dan gagasan umum (classification
of such knowledege, and through this classification, the elaboration of
general ideas or principles); atau dalam definisi Herbert Spencer,
sains adalah pengetahuan yang terorganisir (organized knowledge).
[2]
Pada abad pertengahan istilah sains tentu belum dikenal dan merujuk pada pengertian sebagaimana yang terpahami pada saat sekarang. Sebab, pada masa itu istilah sains merupakan bagian dari pembahasan tentang filsafat alam. Buku yang ditulis oleh Sir Isaac Newton: Principia Mathematica Philosophiae Naturalis atau Prinsip Matematis Filsafat Alam, mencerminkan bagaimana asingnya istilah sains kala itu. Rumusan tentang filsafat alam sendiri berasal dari kategorisasi filosofis Aristoteles tentang ilmu pengetahuan. Meskipun begitu, filsafat (ilmu) alam yang akan menjadi cikal bakal rumusan sains modern, sudah tampil dalam kemasan epistemologis yang dibedakan secara jelas dengan metafisika. Filsafat sebagai ilmu reflektif pada titik ini sedikit banyak akan kehilangan sisi holistik perenungannya terhadap semesta realitas. Dari sini sebenarnya bisa dipahami mengapa filsafat disebut sebagai rahim pengetahuan manusia sebelum banyak bidang pembahasan yang melepaskan diri darinya. Sejarah sains sendiri bermula sejak lebih dari ribuan tahun sebelum masehi. Babylonia, Egypt, bahkan bangsa-bangsa yang sampai pada kita hanya jejak fosil peradabannya, pada dasarnya sudah mempunyai tradisi pengetahuan dan teknologi sendiri. Meskipun, pada akhirnya wacana yang berkembang sekarang lebih memantapkan tradisi filsafat Yunani sebagai cikal bakal perkembangan sains.Hal seperti ini juga terjadi pada agama. Ia hadir semenjak mula kehadiran manusia di muka bumi. Meskipun tidak dalam pengertian pelembagaan spiritualitas dan ritus yang sistematis, namun perenungan-perenungan awal manusia, sejatinya tidak pernah terlepas dari kisaran kosmologis dan teologis. Sebagaimana halnya doktrin yang sampai pada kita yang beragama sekarang, Tuhan sudah selalu menurunkan rasul-Nya di setiap zaman dan tempat. Melacak perkembangan keduanya dalam pengertian yang jauh, pada akhirnya akan menyeret kita pada logika sederhana pertautan perenungan kosmologis dan teologis. Hal inilah yang sekiranya tampak pada masa keramaian pembongkaran mitos di Yunani oleh filsafat. Masyarakat yang mulanya terbiasa berpikir mitis pada akhirnya dibongkar paksa kejumudannya oleh tradisi baru berpikir logis yakni, Filsafat. Thales, Empidocles, Heraclitus, Plato, Aristoteles, Socrates dan banyak lagi nama lainnya adalah sedikit dari orang-orang yang telah mengenalkan tradisi baru tersebut. Paradigma mitologis yang mengolah daya pikir masyarakat dalam melihat fenomena hanya sebatas penerimaan atas warisan dongeng dan takhayul, diganti dengan paradigma kosmologis yang berusaha menjejaki seluruh fenomena lewat analisa rasional, koheren dan logis. Efek dari hal ini tentu saja adanya perubahan konsepsi secara mendasar orang-orang tentang alam, kedirian, dan Tuhan. Ketegangan yang terjadi pun tidak hanya berkisar pada ranah politis, epistemologis, ataupun sosiologis, akan tetapi juga pada ranah teologis. Hanya saja jalinan cerita perjalanan upaya manusia menyibak rahasia semesta tersebut, tidak selalu tampil dalam kondisi yang diwarnai adanya konflik antara pemikiran filosofis di satu sisi, dan keyakinan teologis di sisi lain. Tradisi baru ini pun menyebar ke berbagai pelosok dan berhasil membawa angin segar bagi perkembangan intelektualitas masyarakat di segala bidang. Hal ini bisa kita lihat pada dunia Arab-Islam dengan keunggulan peradaban dan tradisi pemikiran filosofis-teologisnya. Ada banyak ilmuwan yang lahir dari rahim penggabungan dua tradisi ini. Al Kindi, Ibn Sina, Al Farabi, hingga Ibn Rusyd dalam bidang religio-filosofis. Serta Al Biruni, Jabir ibn Hayyan, Ibn Rabban al Tabari, Al Khawarizmi, hingga Al Battani yang secara gemilang telah membuat penemuan dan terobosan baru, khususnya dalam ranah “sains”. [3] Hal yang perlu dicermati kemudian pada masa ini adalah perenungan filosofis, dan pemikiran teologis tidak didudukkan secara diametral, bertentangan, melainkan dalam kerangka yang saling mendukung satu sama lainnya. Terdapat kesinambungan yang luar biasa antara doktrin religius di satu sisi dan semangat elaborasi intelektualitas di sisi yang lain. Point ini tentu akan menjadi penting tatkala pada nantinya kita harus melacak perkembangan pertemuan antara sains dan agama di dataran geografis yang lain. Sebab, apa yang terjadi di dunia Barat (Eropa) misalnya, akan menuai hasil dan cerminan yang berbeda dari apa yang terjadi di dunia Arab-Islam. Barat, selama abad kegelapan pada dasarnya adalah antonim dari dunia Arab-Islam. Sebab, tradisi religio-filosofis yang sama tidak berlaku selain berada dalam lajur kejumudan doktrin dan kekerasan otoritas gereja. Saat dunia Arab-Islam diselimuti masa keemasan peradabannya, Eropa justru berada dalam masa yang paling menakutkan; masa inkuisisi. Kalangan agamawan lewat otoritas doktrin dan gereja yang disalahgunakan meraja-lela dalam menyingkirkan siapa pun yang tidak sehaluan dengan kepercayaan mereka. Sejarah pun pada akhirnya menuturkan bahwa ada banyak konflik dan ketegangan yang menghiasi keseharian masyarakat di sana. Hal ini tentu saja mengakibatkan terhentinya perkembangan pengetahuan serta terputusnya tradisi logis pemikiran. Meskipun demikian, sebab adanya kontak dengan dunia luar saat “crusades” berlangsung misalnya, pada akhirnya akan membawa dunia Barat pada benih-benih abad pencerahan (aukflarung). Hal lain yang dituturkan sejarah juga adalah lahirnya beberapa tokoh pelopor utama terjadinya pembalikan radikal tradisi pemikiran filosofis di Barat. Nicolas Copernicus, Tycho Brahe, Galileo Galilei, Johannes kepler, Rene Descartes, Francis bacon, hingga Isaac Newton merupakan orang-orang yang pemikirannya pada nantinya menjadi tonggak utama kemajuan pemikiran saintifik dan tradisi filosofis dunia Barat (Eropa). [4]
Pada abad pertengahan istilah sains tentu belum dikenal dan merujuk pada pengertian sebagaimana yang terpahami pada saat sekarang. Sebab, pada masa itu istilah sains merupakan bagian dari pembahasan tentang filsafat alam. Buku yang ditulis oleh Sir Isaac Newton: Principia Mathematica Philosophiae Naturalis atau Prinsip Matematis Filsafat Alam, mencerminkan bagaimana asingnya istilah sains kala itu. Rumusan tentang filsafat alam sendiri berasal dari kategorisasi filosofis Aristoteles tentang ilmu pengetahuan. Meskipun begitu, filsafat (ilmu) alam yang akan menjadi cikal bakal rumusan sains modern, sudah tampil dalam kemasan epistemologis yang dibedakan secara jelas dengan metafisika. Filsafat sebagai ilmu reflektif pada titik ini sedikit banyak akan kehilangan sisi holistik perenungannya terhadap semesta realitas. Dari sini sebenarnya bisa dipahami mengapa filsafat disebut sebagai rahim pengetahuan manusia sebelum banyak bidang pembahasan yang melepaskan diri darinya. Sejarah sains sendiri bermula sejak lebih dari ribuan tahun sebelum masehi. Babylonia, Egypt, bahkan bangsa-bangsa yang sampai pada kita hanya jejak fosil peradabannya, pada dasarnya sudah mempunyai tradisi pengetahuan dan teknologi sendiri. Meskipun, pada akhirnya wacana yang berkembang sekarang lebih memantapkan tradisi filsafat Yunani sebagai cikal bakal perkembangan sains.Hal seperti ini juga terjadi pada agama. Ia hadir semenjak mula kehadiran manusia di muka bumi. Meskipun tidak dalam pengertian pelembagaan spiritualitas dan ritus yang sistematis, namun perenungan-perenungan awal manusia, sejatinya tidak pernah terlepas dari kisaran kosmologis dan teologis. Sebagaimana halnya doktrin yang sampai pada kita yang beragama sekarang, Tuhan sudah selalu menurunkan rasul-Nya di setiap zaman dan tempat. Melacak perkembangan keduanya dalam pengertian yang jauh, pada akhirnya akan menyeret kita pada logika sederhana pertautan perenungan kosmologis dan teologis. Hal inilah yang sekiranya tampak pada masa keramaian pembongkaran mitos di Yunani oleh filsafat. Masyarakat yang mulanya terbiasa berpikir mitis pada akhirnya dibongkar paksa kejumudannya oleh tradisi baru berpikir logis yakni, Filsafat. Thales, Empidocles, Heraclitus, Plato, Aristoteles, Socrates dan banyak lagi nama lainnya adalah sedikit dari orang-orang yang telah mengenalkan tradisi baru tersebut. Paradigma mitologis yang mengolah daya pikir masyarakat dalam melihat fenomena hanya sebatas penerimaan atas warisan dongeng dan takhayul, diganti dengan paradigma kosmologis yang berusaha menjejaki seluruh fenomena lewat analisa rasional, koheren dan logis. Efek dari hal ini tentu saja adanya perubahan konsepsi secara mendasar orang-orang tentang alam, kedirian, dan Tuhan. Ketegangan yang terjadi pun tidak hanya berkisar pada ranah politis, epistemologis, ataupun sosiologis, akan tetapi juga pada ranah teologis. Hanya saja jalinan cerita perjalanan upaya manusia menyibak rahasia semesta tersebut, tidak selalu tampil dalam kondisi yang diwarnai adanya konflik antara pemikiran filosofis di satu sisi, dan keyakinan teologis di sisi lain. Tradisi baru ini pun menyebar ke berbagai pelosok dan berhasil membawa angin segar bagi perkembangan intelektualitas masyarakat di segala bidang. Hal ini bisa kita lihat pada dunia Arab-Islam dengan keunggulan peradaban dan tradisi pemikiran filosofis-teologisnya. Ada banyak ilmuwan yang lahir dari rahim penggabungan dua tradisi ini. Al Kindi, Ibn Sina, Al Farabi, hingga Ibn Rusyd dalam bidang religio-filosofis. Serta Al Biruni, Jabir ibn Hayyan, Ibn Rabban al Tabari, Al Khawarizmi, hingga Al Battani yang secara gemilang telah membuat penemuan dan terobosan baru, khususnya dalam ranah “sains”. [3] Hal yang perlu dicermati kemudian pada masa ini adalah perenungan filosofis, dan pemikiran teologis tidak didudukkan secara diametral, bertentangan, melainkan dalam kerangka yang saling mendukung satu sama lainnya. Terdapat kesinambungan yang luar biasa antara doktrin religius di satu sisi dan semangat elaborasi intelektualitas di sisi yang lain. Point ini tentu akan menjadi penting tatkala pada nantinya kita harus melacak perkembangan pertemuan antara sains dan agama di dataran geografis yang lain. Sebab, apa yang terjadi di dunia Barat (Eropa) misalnya, akan menuai hasil dan cerminan yang berbeda dari apa yang terjadi di dunia Arab-Islam. Barat, selama abad kegelapan pada dasarnya adalah antonim dari dunia Arab-Islam. Sebab, tradisi religio-filosofis yang sama tidak berlaku selain berada dalam lajur kejumudan doktrin dan kekerasan otoritas gereja. Saat dunia Arab-Islam diselimuti masa keemasan peradabannya, Eropa justru berada dalam masa yang paling menakutkan; masa inkuisisi. Kalangan agamawan lewat otoritas doktrin dan gereja yang disalahgunakan meraja-lela dalam menyingkirkan siapa pun yang tidak sehaluan dengan kepercayaan mereka. Sejarah pun pada akhirnya menuturkan bahwa ada banyak konflik dan ketegangan yang menghiasi keseharian masyarakat di sana. Hal ini tentu saja mengakibatkan terhentinya perkembangan pengetahuan serta terputusnya tradisi logis pemikiran. Meskipun demikian, sebab adanya kontak dengan dunia luar saat “crusades” berlangsung misalnya, pada akhirnya akan membawa dunia Barat pada benih-benih abad pencerahan (aukflarung). Hal lain yang dituturkan sejarah juga adalah lahirnya beberapa tokoh pelopor utama terjadinya pembalikan radikal tradisi pemikiran filosofis di Barat. Nicolas Copernicus, Tycho Brahe, Galileo Galilei, Johannes kepler, Rene Descartes, Francis bacon, hingga Isaac Newton merupakan orang-orang yang pemikirannya pada nantinya menjadi tonggak utama kemajuan pemikiran saintifik dan tradisi filosofis dunia Barat (Eropa). [4]
[2] .
Ali, Abdullah “Agama Dalam Ilmu Perbandingan”, Nuansa aulia. Bandung.
Hal.25
[3] Abd
Manaf, Mudjahid “Sejarah Agama-agama”, PT. Raja Grafindo, Jakarta. Hlm.
3
[4].
Abdullah, Yatimin “Study Islam Kontemporer”, Amzah, Jakarta. Hlm. 5
[6] . Muhammmaddin
“Agama-agama di dunia”, Grafika Telindo Press. Palembang. Hlm. 7
[8] .sudjana,Eggi”islam
fungsional”, PT Raja grafindo persada. Jakarta.hlm. 3
0 Response to "MAKALAH FILSAFAT AGAMA"
Post a Comment