MAKALAH FILSAFAT AGAMA



MAKALAH FILSAFAT AGAMA
 
Agama Dan Sain Modern
 
1.     PENDAHULUAN

A.   Latar belakang
Dalam perkembangannya, Iptek sering kali berbenturan atau dibenturkan dengan agama yang berakibat pada kegagalannya dalam misi kemanusian,. Distorsi ini juga dapat dialami oleh profesi pekerjaan sosial sebagai aktivitas kemanusiaan yang tidak peduli terhadap nilai-nilai.
Integrasi antara keduanya dalam praktek pekerjaan sosial merupakan sebuah keharusan sebab pendekatan moderen dan agama dalam praktek pekerjaan sosial merupakan dua hal yang tidak dapat terpisahkan. Modernitas dan perkembangan zaman telah menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih dengan berbagai dampak positif sekaligus negatif. Nilai positif dapat terlihat apa yang dianggap gaib dan tidak mungkin di masa silam menjadi nyata dan fakta dimasa kini. Sedangkan ekses negativnya terlihat ketika ilmu  pengetahuan dan teknologi diper-Tuhan-kan.
Rasa ingin tahu manusia mendorongnya tidak segera puas pada satu penemuan saja.  Pertumbuhan ilmu pengetahuan dan ideology pun terus menjamur, selanjutnya tumbang dan berganti lagi dengan bangun keilmuan dan idelogi yang baru. Lingkaran ketidak pastian ini berlanjut atas dasar paradigma rasionalis - empris disatu pihak dan alienasi terhadap agama pada pihak lain. Akibatnya adalah manusia ditawan dan dibingungkan oleh hasil penemuan dan perilakunya sendiri dengan lahirnya masalah baru   yang lebih kompleks. Dari sanalah kita harus mengetahui seluk beluk mengenai  ilmu pengetahuan modern dan agama.

B.   Rumusan masalah

  1. Apakah pengertian agama dan sain modern ?
  2. Apa saja perbedaan Perbedaan pendekatan Ilmu dan agama
  3. Apakah Sintesis ilmu dan agama







2.    PEMBAHASAN
AGAMA DAN SAIN MODERN
A.   Agama
  1. Pengertian Agama
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Kata "agama" berasal dari bahasa Sanskerta, āgama yang berarti "tradisi" [1].
Agama semakna juga dengan kata “ad-Din” (bahasa arab) yang berarti cara, adat kebiasaan, peraturan, undang-undang taat dan patuh, mengesakan tuhan, pembalasan, perhitungan, hari kiamat dan nasihat [2].
            Agama menurut agama islam ialah peraturan yang mendorong jiwa untuk memegang aturan Tuhan dalam mencapai kebaikan dunia dan akhirat [3]
            Menurut Durkheim dalam buku Gambaran Pertama bagi Penghidupan Keagamaan bahwa Agama adalah alam ghaib yang tidak dapat diketahui oleh akal dan pikiran manusia atau Agama adalah suatu bagian dari pengetahuan yang tidak dapat dicapai oleh ilmupengetahuan biasa dan tidak dapat diperoleh dengan pikiran saja.
            Menurut al-Syahratani dalam buku   Al-Minal wa al- Nihal  berpendapat bahwa agama adalah ketaatan dan kepatuhan yang terkadang biasa diartikan sebagai pembalasa dan perhitungan (amal perbuatan di akhirat) [4].

  1. Ciri-ciri Agama
Kreteria yang harus dimiliki oleh suatu agama yaitu:
1)      Adanya sistem keyakinan/kepercayaan terhadap Tuhan Sebagai Zat Maha Pencipta dan Maha Suci.
2)      Adanya sistem persembahan berisi peraturan tata cara pelaksanaan ibadah/peribadatan manusia terhadap Tuhan yang telah diyakininya.
3)      Adanya kitab suci yang menghimpun hukum/peraturan ketetapan Tuhan sebagai pedoman bagi para pemeluknya.
4)      Adanya Rasul utusan Tuhan yang menyampaikan ajaran Tuhan itu kepada manusia agar memenuhi segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya[5].

  1. Penggolongan Agama
Ditinjau dari asal atau sumbernya dibagi dua bagian yaitu:
1)      Agama Samawiyah ialah agama yang datangnya dari Allah dalam wujud wahyu yang ciri pokoknya Tauhid dan adanya Rasul yang ditugaskan untuk menyampaikan kepada manusia. Yang tergolong agama Samawiyah ini ialah agama Yahudi, Nasrani dan Islam.
2)        Agama Ardhiyah yaitu agama yang dibentuk oleh budaya/kebudayaan manusia. Agama semacam ini sering berpaham animisme dan dinamisme. Konsepsi agamanya selalu berubah-ubah menurut dan sesuai dengan keinginan masyarakat pemeluknya. Yang tergolong agama Ardhiyah ini adalah agama Hindu, Buddha, konghucu, Shinto dan lain-lain[6].

  1. Fungsi Agama[7]
  1. Sumber pedoman hidup bagi individu maupun kelompok
  2. Mengatur tata cara hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia.
  3. Merupakan tuntutan tentang prinsip benar atau salah
  4. Pedoman mengungkapkan rasa kebersamaan
  5. Pedoman perasaan keyakinan
  6. Pedoman keberadaan
  7. Pengungkapan estetika (keindahan)
  8. Pedoman rekreasi dan hiburan
  9. Memberikan identitas kepada manusia sebagai umat dari suatu agama.

B.    Sain Modern
Kata sain berasal dari kata science,scienta, scine yang artinya mengetahui. Dalam kata lain, sain adalah logos, sendi atau ilmu. Sain dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang bertuan untuk mencari kebenaran berdasarkan fakta atau fenomena alam[8]
Istilah sains menurut H. Smith Williams adalah sebuah kata yang mengandung beberapa hal yaitu:
Pertama : bundelan pengetahuan yang didapatkan melalui observasi (gathering knowledge through observation);
Kedua : sains adalah klasifikasi pengetahuan tertentu yang dielaborasi dari prinsip-prinsip dan gagasan umum (classification of such knowledege, and through this classification,  the elaboration of general ideas or principles) [9].
Pada abad pertengahan istilah sains tentu belum dikenal dan merujuk pada pengertian sebagaimana yang terpahami pada saat sekarang. Sebab, pada masa itu istilah sains merupakan bagian dari pembahasan tentang filsafat alam. Sejarah sains sendiri bermula sejak lebih dari ribuan tahun sebelum masehi. Babylonia, Egypt, bahkan bangsa-bangsa yang sampai pada kita hanya jejak fosil peradabannya, pada dasarnya sudah mempunyai tradisi pengetahuan dan teknologi sendiri. Meskipun, pada akhirnya wacana yang berkembang sekarang lebih memantapkan tradisi filsafat Yunani sebagai cikal bakal perkembangan sains.













Agama adalah penghambaan manusia kepada Tuhannya. Dalam pengertian agama terdapat 3 unsur, ialah manusia, penghambaan dan Tuhan. Maka suatu paham atau ajaran yang mengandung ketiga unsur pokok pengertian tersebut dapat disebut agama.
Lebih luasnya lagi, agama juga bisa diartikan sebagai jalan hidup. Yakni bahwa seluruh aktivitas lahir dan batin pemeluknya diatur oleh agama yang dianutnya. Bagaimana kita makan, bagaimana kita bergaul, bagaimana kita beribadah, dan sebagainya ditentukan oleh aturan/tata cara agama.
Agama adalah suatu system kepercayaan kepada tuhan yang dianut oleh sekelompok manusia dengan selalu mengadakan interaksi dengan-nya. Pokok persoalan yang dibahas dalam agama adalah interaksi tuhan, manusia dan hubungan manusia dengan tuhan. Tuhan dan hubungan manusia dengan-nya merupakan aspek metafisika, sedangkan manusia sebagai makhluk. Dengan demikian, filsafat membahas agama dari segi metafisika dan fisika.
Ditinjau dari segi objek material filsafat agama objeknya berdimensi metafisik dan fisik. Sedangkan di tinjau dari objek formalnya adalah sudut pandang yang menyeluruh, rasional, objektif, bebas, dan radikal tentang pokok-pokok agama. Karena itu pembahasan filsafat agama perlu di tekankan pada segi obyektivitas, kendati tidak di nafikan sama sekali masuknya unsure subjektivitas tadi. Namun, dari pembahasan dasar agama yang besifat umum di usahakan seobjektif mungkin.
Berfikir secara bebas dalam membahas dasar-dasar agama data mengambil dua bentuk, yaitu :
a.       Membahas dasar-dasar  agama secara analitis  dan kritis tanpa terikat pada ajaran-ajaran dan tanpa ada tujuan untuk menyatakan kebenaran suatu agama :
b.      Membahas dasar-dasa agama secara analitis dan kritis dengan maksud untuk menyatakan kebenaran ajaran-ajaran  agama, atau sekurang-kurangnya untuk menjelaskan bahwa apa yang diajarkan agama tidak bertentangan dengan logika. Dalam pembahasan semacam ini seseorang masih terikat pada ajaran agama. Dengan demikian, bias dikatakan bahwa filsafat agama pada hakikatnya adalah pembahasan yang mendalam tentang ajaran dasar agama.   
Pada abad ke-19 dan ke-20, praktek akademik perbandingan agama membagi keyakinan agama ke dalam kategori yang didefinisikan secara filosofis disebut "agama-agama dunia". Namun, beberapa sarjana baru-baru ini telah menyatakan bahwa tidak semua jenis agama yang harus dipisahkan oleh filosofi yang saling eksklusif, dan selanjutnya bahwa kegunaan menganggap praktek ke filsafat tertentu, atau bahkan menyebut praktik keagamaan tertentu, ketimbang budaya, politik, atau sosial di alam, yang terbatas.[24][25][26] Keadaan saat studi psikologis tentang sifat religiusitas menunjukkan bahwa lebih baik untuk merujuk kepada agama sebagai sebagian besar fenomena invarian yang harus dibedakan dari norma-norma budaya ( yaitu " agama " )[27].
Beberapa akademisi mempelajari subjek telah membagi agama menjadi tiga kategori :
1.      agama-agama dunia, sebuah istilah yang mengacu pada yang transkultural, agama internasional;
2.      agama pribumi, yang mengacu pada yang lebih kecil, budaya-tertentu atau kelompok agama-negara tertentu, dan
3.      gerakan-gerakan keagamaan baru, yang mengacu pada agama baru ini dikembangkan.[28]

a.     Cara Beragama
Berdasarkan cara beragamanya:
1)      Tradisional, yaitu cara beragama berdasar tradisi. Cara ini mengikuti cara beragama nenek moyang, leluhur, atau orang-orang dari angkatan sebelumnya. Pemeluk cara agama tradisional pada umumnya kuat dalam beragama, sulit menerima hal-hal keagamaan yang baru atau pembaharuan, dan tidak berminat bertukar agama.
2)    Formal, yaitu cara beragama berdasarkan formalitas yang berlaku di lingkungannya atau masyarakatnya. Cara ini biasanya mengikuti cara beragamanya orang yang berkedudukan tinggi atau punya pengaruh. Pada umumnya tidak kuat dalam beragama. Mudah mengubah cara beragamanya jika berpindah lingkungan atau masyarakat yang berbeda dengan cara beragamnya. Mudah bertukar agama jika memasuki lingkungan atau masyarakat yang lain agamanya. Mereka ada minat meningkatkan ilmu dan amal keagamaannya akan tetapi hanya mengenai hal-hal yang mudah dan nampak dalam lingkungan masyarakatnya.
3)    Rasional, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan rasio sebisanya. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan pengetahuan, ilmu dan pengamalannya. Mereka bisa berasal dari orang yang beragama secara tradisional atau formal, bahkan orang tidak beragama sekalipun.
4)      Metode Pendahulu, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan akal dan hati (perasaan) di bawah wahyu. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan ilmu, pengamalan dan penyebaran (dakwah). Mereka selalu mencari ilmu dulu kepada orang yang dianggap ahlinya dalam ilmu agama yang memegang teguh ajaran asli yang dibawa oleh utusan dari Sesembahannya semisal Nabi atau Rasul sebelum mereka mengamalkan, mendakwahkan dan bersabar (berpegang teguh) dengan itu semua.
b.    Unsur-unsur Agama
Menurut Leight, Keller dan Calhoun, agama terdiri dari beberapa unsur pokok:
a.                        Kepercayaan agama, yakni suatu prinsip yang dianggap benar tanpa ada keraguan lagi
  1. Simbol agama, yakni identitas agama yang dianut umatnya.
c.        Praktik keagamaan, yakni hubungan vertikal antara manusia dan Tuhan-Nya, dan hubungan horizontal atau hubungan antarumat beragama sesuai dengan ajaran agama
d.                        Pengalaman keagamaan, yakni berbagai bentuk pengalaman keagamaan yang dialami oleh penganut-penganut secara pribadi.
  1. Umat beragama, yakni penganut masing-masing agama
c.     Fungsi Agama
  1. Sumber pedoman hidup bagi individu maupun kelompok
  2. Mengatur tata cara hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia.
  3. Merupakan tuntutan tentang prinsip benar atau salah
  4. Pedoman mengungkapkan rasa kebersamaan
  5. Pedoman perasaan keyakinan
  6. Pedoman keberadaan
  7. Pengungkapan estetika (keindahan)
  8. Pedoman rekreasi dan hiburan
  9. Memberikan identitas kepada manusia sebagai umat dari suatu agama.
2. Sain Modern
Istilah sains, menurut H. Smith Williams, adalah sebuah kata yang mengandung beberapa hal yaitu: pertama, bundelan pengetahuan yang didapatkan melalui observasi (gathering knowledge through observation); kedua, sains adalah klasifikasi pengetahuan tertentu yang dielaborasi dari prinsip-prinsip dan gagasan umum (classification of such knowledege, and through this classification,  the elaboration of general ideas or principles); atau dalam definisi Herbert Spencer, sains adalah pengetahuan yang terorganisir (organized knowledge). [2]
            Pada abad pertengahan istilah sains tentu belum dikenal dan merujuk pada pengertian sebagaimana yang terpahami pada saat sekarang. Sebab, pada masa itu istilah sains merupakan bagian dari pembahasan tentang filsafat alam. Buku yang ditulis oleh Sir Isaac Newton: Principia Mathematica Philosophiae Naturalis atau Prinsip Matematis Filsafat Alam, mencerminkan bagaimana asingnya istilah sains kala itu. Rumusan tentang filsafat alam sendiri berasal dari kategorisasi filosofis Aristoteles tentang ilmu pengetahuan. Meskipun begitu, filsafat (ilmu) alam yang akan menjadi cikal bakal rumusan sains modern, sudah tampil dalam kemasan epistemologis yang dibedakan secara jelas dengan metafisika. Filsafat sebagai ilmu reflektif pada titik ini sedikit banyak akan kehilangan sisi holistik perenungannya terhadap semesta realitas. Dari sini sebenarnya bisa dipahami mengapa filsafat disebut sebagai rahim pengetahuan manusia sebelum banyak bidang pembahasan yang melepaskan diri darinya.                                                   Sejarah sains sendiri bermula sejak lebih dari ribuan tahun sebelum masehi. Babylonia, Egypt, bahkan bangsa-bangsa yang sampai pada kita hanya jejak fosil peradabannya, pada dasarnya sudah mempunyai tradisi pengetahuan dan teknologi sendiri. Meskipun, pada akhirnya wacana yang berkembang sekarang lebih memantapkan tradisi filsafat Yunani sebagai cikal bakal perkembangan sains.Hal seperti ini juga terjadi pada agama. Ia hadir semenjak mula kehadiran manusia di muka bumi. Meskipun tidak dalam pengertian pelembagaan spiritualitas dan ritus yang sistematis, namun perenungan-perenungan awal manusia, sejatinya tidak pernah terlepas dari kisaran kosmologis dan teologis. Sebagaimana halnya doktrin yang sampai pada kita yang beragama sekarang, Tuhan sudah selalu menurunkan rasul-Nya di setiap zaman dan tempat.                   Melacak perkembangan keduanya dalam pengertian yang jauh, pada akhirnya akan menyeret kita pada logika sederhana pertautan perenungan kosmologis dan teologis. Hal inilah yang sekiranya tampak pada masa keramaian pembongkaran mitos di Yunani oleh filsafat. Masyarakat yang mulanya terbiasa berpikir mitis pada akhirnya dibongkar paksa kejumudannya oleh tradisi baru berpikir logis yakni, Filsafat. Thales, Empidocles, Heraclitus, Plato, Aristoteles, Socrates dan banyak lagi nama lainnya adalah sedikit dari orang-orang yang telah mengenalkan tradisi baru tersebut. Paradigma mitologis yang mengolah daya pikir masyarakat dalam melihat fenomena hanya sebatas penerimaan atas warisan dongeng dan takhayul, diganti dengan paradigma kosmologis yang berusaha menjejaki seluruh fenomena lewat analisa rasional, koheren dan logis. Efek dari hal ini tentu saja adanya perubahan konsepsi secara mendasar orang-orang tentang alam, kedirian, dan Tuhan. Ketegangan yang terjadi pun tidak hanya berkisar pada ranah politis, epistemologis, ataupun sosiologis, akan tetapi juga pada ranah teologis. Hanya saja jalinan cerita perjalanan upaya manusia menyibak rahasia semesta tersebut, tidak selalu tampil dalam kondisi yang diwarnai adanya konflik antara pemikiran filosofis di satu sisi, dan keyakinan teologis di sisi lain.                      Tradisi baru ini pun menyebar ke berbagai pelosok dan berhasil membawa angin segar bagi perkembangan intelektualitas masyarakat di segala bidang. Hal ini bisa kita lihat pada dunia Arab-Islam dengan keunggulan peradaban dan tradisi pemikiran filosofis-teologisnya. Ada banyak ilmuwan yang lahir dari rahim penggabungan dua tradisi ini. Al Kindi, Ibn Sina, Al Farabi, hingga Ibn Rusyd dalam bidang religio-filosofis. Serta Al Biruni, Jabir ibn Hayyan, Ibn Rabban al Tabari, Al Khawarizmi, hingga Al Battani yang secara gemilang telah membuat penemuan dan terobosan baru, khususnya dalam ranah “sains”. [3]                                    Hal yang perlu dicermati kemudian pada masa ini adalah perenungan filosofis, dan pemikiran teologis tidak didudukkan secara diametral, bertentangan, melainkan dalam kerangka yang saling mendukung satu sama lainnya. Terdapat kesinambungan yang luar biasa antara doktrin religius di satu sisi dan semangat elaborasi intelektualitas di sisi yang lain. Point ini tentu akan menjadi penting tatkala pada nantinya kita harus melacak perkembangan pertemuan antara sains dan agama di dataran geografis yang lain. Sebab, apa yang terjadi di dunia Barat (Eropa) misalnya, akan menuai hasil dan cerminan yang berbeda dari apa yang terjadi di dunia Arab-Islam.                                                                                               Barat, selama abad kegelapan pada dasarnya adalah antonim dari dunia Arab-Islam. Sebab, tradisi religio-filosofis yang sama tidak berlaku selain berada dalam lajur kejumudan doktrin dan kekerasan otoritas gereja. Saat dunia Arab-Islam diselimuti masa keemasan peradabannya, Eropa justru berada dalam masa yang paling menakutkan; masa inkuisisi. Kalangan agamawan lewat otoritas doktrin dan gereja yang disalahgunakan meraja-lela dalam menyingkirkan siapa pun yang tidak sehaluan dengan kepercayaan mereka. Sejarah pun pada akhirnya menuturkan bahwa ada banyak konflik dan ketegangan yang menghiasi keseharian masyarakat di sana. Hal ini tentu saja mengakibatkan terhentinya perkembangan pengetahuan serta terputusnya tradisi logis pemikiran. Meskipun demikian, sebab adanya kontak dengan dunia luar saat “crusades” berlangsung misalnya, pada akhirnya akan membawa dunia Barat pada benih-benih abad pencerahan (aukflarung). Hal lain yang dituturkan sejarah juga adalah lahirnya beberapa tokoh pelopor utama terjadinya pembalikan radikal tradisi pemikiran filosofis di Barat. Nicolas Copernicus, Tycho Brahe, Galileo Galilei, Johannes kepler, Rene Descartes, Francis bacon, hingga Isaac Newton merupakan orang-orang yang pemikirannya pada nantinya menjadi tonggak utama kemajuan pemikiran saintifik dan tradisi filosofis dunia Barat (Eropa). [4]




[1] . Menurut ” kamus Sanskerta-Inggris Monier-Williams “:(cetakan pertama tahun 1899)
[2] . Ali, Abdullah “Agama Dalam Ilmu Perbandingan”, Nuansa aulia. Bandung. Hal.25
[3] Abd Manaf, Mudjahid “Sejarah Agama-agama”, PT. Raja Grafindo, Jakarta. Hlm. 3
[4]. Abdullah, Yatimin “Study Islam Kontemporer”, Amzah, Jakarta. Hlm. 5
[5] . Ali, Abdullah “Agama Dalam Ilmu Perbandingan”, Nuansa aulia. Bandung. Hal.24
[6] . Muhammmaddin “Agama-agama di dunia”, Grafika Telindo Press. Palembang. Hlm. 7
[8] .sudjana,Eggi”islam fungsional”, PT Raja grafindo persada. Jakarta.hlm. 3

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "MAKALAH FILSAFAT AGAMA"

Post a Comment